Menurut saya, barangkali musabab korup dan merosotnya sistem pendidikan zaman kiwari secara akhlak dan capaian moral, adalah bergesernya tujuan paling utama seorang pendidik ketika mengajar berubah dari “pengabdian” menjadi “profesi/pekerjaan”. Diakui atau tidak kondisi demikian, memang menjadi salah satu musibah terbesar yang tengah melanda dunia keilmuan dan pendidikan.
Jikalau ada yang masih bertahan dengan tujuan “pengabdian”, mungkin hanya segelintir pendidik – untuk tidak mengatakan tidak ada. Alhasil, tujuan pendidikan secara mendasar berubah sebagai ladang pencarian keuntungan yang sarat kalkulasi, bukan tempat dedikasi yang tulus demi tumbuh-kembangnya anak-anak didik terutama terkait pembentukan akhlak dan moral.
Tentu sebagian orang berargumen “guru juga manusia”, yang tentu saja memerlukan kebutuhan (materi berupa uang) sebagai penunjang hidupnya. Iya, memang demikian bahkan wajib. Namun, tidak tepat kiranya apabila materi menjadi prioritas utama seorang pendidik. Akibatnya, ia mengajar dan mendidik seorang anak didik hanya karena embel-embel materi semata, bukan lainnya. Sebab, tanggung jawab yang diemban sebagai pendidik secara tidak langsung tengah tergantikan oleh materi.
Betullah, apa yang dinasihatkan oleh Mbah Maimoen Zubair ulama asal Sarang, Rembang itu bahwa; “Nak, kalau kamu jadi guru, dosen, atau kiai, kamu harus tetap punya usaha sampingan. Biar hatimu tidak selalu mengharap pemberian atau bayaran dari orang lain. Karena usaha dari hasil keringatmu itu barokah.”
Menjadi seorang pendidik/guru memang bukan perkara mudah. Beragam tanggung jawab diembannya. Guru tidak sekadar mengajar, pulang, dan memperoleh gaji atau tunjangan di akhir bulan. Apalagi dijadikan sebagai profesi utama. Sungguh sangat ironis, mengingat begitu urgennya peran seorang guru bagi perkembangan pendidikan nasional dan kemajuan bangsa ini. Bahkan, guru merupakan ujung tombak masa depan generasi penerus bangsa.
Jadi, jelaslah bahwa tanggung jawab seorang pendidik bukan sekadar mengajar, melainkan juga mendidik peserta didik terutama tentang akhlak, moral, dan etika. Selain kemampuan dan penguasaan ilmu pengetahuan. Pun, harus disertai dengan keikhlasan, keteladanan, penuh cinta, dan kasih sayang. Sebab, sikap demikian menjadi salah satu penopang utama terbentuknya kepribadian yang luhur seorang anak didik. Oleh karena itu, penting kiranya bagi para pendidik untuk memperbagus kembali tujuan utama dalam mengajar dan mendidik. Wallahu A’lam
Baca Juga: Islamisme dan Geliatnya di Kancah Pendidikan Nasional