Fenomena yang terjadi saat ini, cara beragama keturunan Nabi sering kali terlihat kaku tak fleksibel terhadap golongan yang ada di luar mereka. Padahal para Sayyid atau keturunan Nabi dikenal memiliki pemahaman Islam yang cukup baik disebabkan karena leluhur mereka secara turun-temurun antar generasi memegang secara kuat ajaran-ajaran Islam serta mengajarkan kepada keturunannya.
Pemikiran dan Gerakan
Pertikaian Hadrami antara kelompok Sayyid (yang mengklaim sebagai keturunan Nabi dari jalur Husein putra Ali) dan Non Sayyid (yang bukan keturunan Nabi) yang terjadi di Indonesia pada tahun 1900 an bisa dilihat sebagai embrio perpecahan masyarakat Hadrami (Riddell, 2001). Peristiwa ini juga bisa difahami sebagai kegagalan mereka menghilangkan tradisi kesukuan yang pernah melekat kuat di negara asalnya.
Awal mulanya, pada tahun 1911 M, Jami’at al-Khair mengundang tiga sarjana muslim terkemuka dari Arab yaitu Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah dan yang terakhir, Syaikh Ahmad Soorkati dari Sudan. Ketiga Ulama ini resmi bergabung dengan organisasi Jami’at al-Khair pada bulan Oktober 1911 M. (Hasyim Assegaf, 2000)
Konflik itu terjadi karena kelompok Sayyid yang tergabung dalam lembaga Jami’at al-Khair menuntut kedudukan lebih tinggi karena berasal dari keturunan Nabi, berdarah suci. Sedangkan Hadrami yang bukan Sayyid dianggap sebagai masyarakat biasa yang tidak sepadan dengannya. Adanya konflik ini yang menjadi buntut berdirinya Al-Irsyad pada tahun 1913 sebagai wadah persatuan para pedagang Arab Non Sayyid.
Ahmad Soorkaty pelopor berdirinya Al-Irsyad, sebuah organisasi yang mengatasnamakan persamaan. Menurutnya semua makhluk Allah memiliki derajat yang sama di sisi Allah. Tidak memandang darah, tidak memandang kulit, tidak memandang harta. Fatwa yang ia keluarkan dengan sebutan “Fatwa Solo” ini digunakan untuk merespons kelompok Arab Sayyid di tempat ia mengajar, yang menuntut untuk dihormati dan diberi kedudukan tinggi, karena berasal dari keturunan Nabi. Bahkan ketegangan itu semakin panas ketika ada seorang Kapten Arab bernama Umar Manggus tidak mau cium tangan (taqbil) kepada para Sayyid, karena menganggap dirinya sederajat (Hussein Badjerei, 1996).
Padahal peran Hadrami kelompok Sayyid di Jamiat al-Khair lebih sebagai saudagar kaya yang mendirikan lembaga pendidikan. Maka perlu dipertanyakan lagi sejauh mana peranan Hadrami Sayyid di Indonesia dalam bindang pemikiran intelektual?
Peter Riddell dalam salah satu artikelnya, menyebutkan tidak ada peranan Hadrami dalam bidang intelektual. Kebanyakan mereka sebagai pengajar ilmu-ilmu dasar seperti mengajar baca Al-Qur’an, dan imam masjid. Kecuali dua tokoh, yaitu Ahmad bin Hasan bin Abdallah Hadad bin Sayyid Alawi dan Sayyid Salim bin Abdallah Sumayr (Riddell, 2001).
Memang pada awal abad 20 muncul Sayyid Usman (w. 1913) sebagai intelektual, tetapi kiprahnya lebih dikenal sebagai mufti Belanda, yang tidak memiliki keberpihakan terhadap muslim maupun Arab. Ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakannya yang cenderung membela pemerintah Belanda. Seperti fatwa “pengikut setan” kepada para petani Banten yang melakukan pemberontakan atas ketidak adilan Belanda.
Begitu juga Al-Irsyad yang lahir karena dilatar belakangi oleh kebenciaan terhadap “keangkuhan” para sayyid, lebih tampil sebagai organisasi pembaharuan yang menyebar di berbagai tempat di Indonesia. Dan kebanyakan yang ikut andil menyuarakan ide pembaharuan adalah intelektual pribumi atas dorongan Hadrami. Seperti para pendiri Muhammadiyyah, Yunus Anis, Farid Ma’ruf, dan M. Rasyidi. Dari Al-Irsyad yang dimotori oleh Ahmad Soorkaty inilah yang mampu membangun dialog antara hubungan Hadrami dan tokoh-tokoh lokal. Seperti Sarekat Islam, Muhammadiyyah dan Persis (Hussein Badjerei, 1996).
Pergeseran Otoritas
Awal abad ke-21, kita dapat menyaksikan globalisasi dan perkembangan teknologi media mengakibatkan ulama, habaib dan otoritasnya menghadapi tantangan serius sehingga timbul pertanyaan bagaimana peran ustadz, kyai kampung ketika menghadapi dengan habaib yang mengaku Keturunan Nabi.
Persoalan otoritas, terutama otoritas keagamaan, menjadi arena kontestasi berbagai kelompok-kelompok keagamaan. Dengan menggenggam otoritas, tidak jarang tindakan-tindakan otoriter dipamerkan dengan menghakimi kelompok lain yang dianggap melenceng dari rel keagamaan yang dianggap mapan. Dengan memegang otoritas, Tuhan seolah bersemayam dalam diri orang itu. Ucapan dan tindakannya dianggap mewakili ucapan dan tindakan Tuhan. Akibatnya, melawan ucapan dan tindakan pemegang otoritas dianggap sama dengan melawan ucapan dan tindakan Tuhan. Pada titik ekstrem ini, otoritas agama akan mengancam keragaman dalam kehidupan agama, baik keragaman pemahaman agama maupun keragaman ekspresi keagamaan (Rumadi, 2012).
Dalam hal ini, bila ditinjau dari sifatnya otoritas terbagi kepada otoritas yang bersifat koersif dan bersifat persuasif. Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam, atau menghukum. Otoritas jenis ini sifatnya memaksa orang lain agar tunduk pada pikiran dan kehendaknya. Otoritas koersif ini biasanya terkait dengan kekuasaan politik dengan segala aparaturnya memiliki kekuatan untuk memaksa dan menghukum. Sedangkan otoritas persuasif merupakan kemampuan untuk mengarahkan keyakinan dan perilaku orang lain atas dasar kepercayaan. Karena itu, otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif yang berasal dari dalam diri orang itu. Otoritas jenis ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan seseorang, kharisma dan sejenisnya (Abul Fadl, 2004).
Beralihnya otoritas keagamaan dari tokoh yang semula pakar dalam bidangnya beralih ke para Sayyid memang sudah terjadi semenjak Hadrami mendominasi. Namun menariknya, dinamika tersebut melahirkan corak pemikiran dan membentuk karakter masyarakat muslim tertentu. Permasalahannya, karakter yang terbentuk justru bertabrakan dengan kultur lokal. Tidak bisa integrasi sebagaimana dijembatani oleh Al-Irsyad.