Baca Juga: Mengembalikan Peran dan Marwah Habib di Nusantara (1)
Kasus yang terjadi sampai saat ini, terdapat beragam pandangan keagamaan dari kelompok Sayyid. Jika mungkin digariskan, ada yang berwatak lembut dan ada yang berwatak keras. Masing-masing mecoba mencari pengaruh dan saling mendominasi. Dan umumnya, yang berwatak keras sering bersebrangan dengan tokoh-tokoh agama lokal.
Untuk menghindari gesekan antara Habaib yang alirannya keras dengan tokoh masyarakat seperti Kyai, Ustadz kampung dibutuhkan komunikasi yang intens dan saling terbuka serta tak terlalu fanatik dalam mengagungkan nasab leluhurnya secara berlebihan (Ibnu Khaldun, 2013).
Namun, para ulama maupun kyai yang merasa digerogoti pengaruhnya tidak diam saja melihat fakta ini. Menyadari bahwa gelombang perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan, para ulama mulai mengakomodasi cara-cara baru untuk mempertahankan corak Islam tradisionalis yang mereka yakini dan otoritas agama yang mereka miliki.
Ke Arah Mana Sebaiknya
Pada dasarnya, Islam merupakan agama yang berisikan petunjuk-petunjuk agar manusia secara individual menjadi manusia yang baik, beradab dan berkualitas, selalu berbuat baik sehingga mampu membangun sebuah peradaban yang maju, sebuah tatanan yang manusiawi (Ida Farida, 2008).
Islam tak pernah membeda-bedakan umatnya, dari golongan mana ia berasal, dari keturunan mana tapi yang dilihat hanyalah ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13).
Manusia yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesama makhluk. Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan, serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau garis keturunan, merupakan kemuliaan yang harus dimiliki dan karena itu banyak yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu sifatnya sangat sementara bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya kepada kebinasaan (Quraish Shihab, 2002).
Fenomena yang terjadi saat ini, cara beragama keturunan Nabi sering kali terlihat kaku tak fleksibel terhadap golongan yang ada di luar mereka. Padahal para Sayyid atau keturunan Nabi dikenal memiliki pemahaman Islam yang cukup baik disebabkan karena leluhur mereka secara turun-temurun antar generasi memegang secara kuat ajaran-ajaran Islam serta mengajarkan kepada keturunannya.
Dengan adanya kemudahan teknologi dan media sosial menjadikan mudahnya seseorang mempelajari agama sehingga adat kebiasaan keturunan Nabi yang tak sesuai dengan norma agama dengan sendirinya terkikis demi sedikit maka dengan adanya interaksi sosial yang baik dapat merubah pandangan yang konservatif menjadi lebih moderat.
Pada prinsipnya, Islam datang dengan membawa misi perdamaian bukan untuk memperbesar api permusuhan terutama sesama Habaib yang beraliran Sunni dan Syiah maupun kepada Kyai maupun Ustadz lokal. Solusinya yaitu perkuat Silaturrahmi, menjalin hubungan yang baik dengan sanak kerabat yang masih ada hubungan kekeluargaan maupun kepada masyarakat (As-Safarini, 1993).
Dari sini perlunya saling menghargai semua kalangan baik Habaib, Ulama, dan Ustadz untuk tak membanggakan nasab leluhur jika belum mampu mengikuti akhlak mereka karena sumber permusuhan berawal dari tiga hal. Pertama, tamak dalam urusan harta. Kedua, gila penghormatan. Ketiga, tamak agar diterima oleh orang lain (As Sulami, 1998).