Pernah saya diundang Kang Jalal ke dalam diskusi terbatas di sebuah rumah kepunyaan salah seorang muridnya di Jakarta Selatan. Karena terbatas, pesertanya tidak banyak. Mungkin hanya 15 orang. Salah satunya Kang Jalal dan selebihnya adalah murid-murid Kang Jalal. Lumayan lelah juga saya menangkis kritik-kritik Kang Jalal.
‘Ala kulli hal, dari sekian kali perjumpaan saya dengan Kang Jalal, sekurangnya saya telah belajar dua hal. Pertama, saya yang tumbuh dalam tradisi akademik Sunni diperkaya Kang Jalal dengan referensi di luar Sunni seperti referensi Syiah, dan lain-lain.
Baca juga: Kang Jalal Sang SUSI (Sunni-Syiah) Berpulang
Dengan itu, saya mengenal pemikiran tokoh-tokoh seperti Allamah Thabathabai, Imam Khomaini, Muhammad Baqir Shadr, Sayyid Husain Fadhlullah, dan lain-lain. Dan melalui Kang Jalal saya tahu bahwa Syiah tidak tunggal. Sebagaimana Sunni, Syiah juga cukup beragam. Betapun beragam, tapi Qur’an yang menjadi pegangan seluruh umat Islam adalah seragam, tunggal.
Memang sejak pertama saya berjumpa Kang Jalal, yang bersangkutan sudah menegaskan bahwa Qur’an orang Sunni dan Syiah itu sama. Yang berbeda adalah penafsirannya. Ketika informasi itu dikemukakan, saya agak ragu. Keraguan itu muncul karena banyak berita yang menyatakan bahwa orang Syiah punya Qur’an yang beda dengan Qur’annya orang Sunni. Namun, keraguan itu hilang ketika saya sudah memiliki Qur’an terbitan Teheran.
Dalam sebuah ziarah ke kuburan Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali di Masyhad Iran tahun 2017, saya berbelanja beberapa Mushaf Qur’an di sana. Dan kesimpulannya masih sama; Qur’an orang Sunni dan Syiah itu tak beda, yang beda hanya beberapa nama surahnya.
Kedua, saya sebenarnya belajar praktik debat (jidal) dari Kang Jalal. Kadang saya membaca buku-buku yang membahas ilmu al-jidal, tapi praktik jidalnya saya peroleh dari Kang Jalal. Ia memang beberapa kali mendebat saya dalam suatu forum ilmiah.
Tapi, saya memahaminya itu sebagai cara dia melatih saya untuk tetap logis dalam bernalar dan kukuh dalam beragumen. Karena sebuah ide memang harus diuji dalam mimbar akademis bukan di mimbar dakwah.
Perjalanan Hidup Kang Jalal
Akhirnya, sejarah hidup seseorang tak selalu berjalan menurut garis-garis yang lurus. Ia kadang berjalan zig-zag, bergerak ke kanan dan ke kiri, untuk melatih kelincahan dalam berfikir dan bertindak. Sejarah pun mencatat bahwa Kang Jalal pernah duduk di bangku parlemen, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan.
Tapi tampaknya politik bukanlah perkara yang sangat digandrungi Kang Jalal. Awalnya mungkin ia akan menjadikan politik sebagai alat advokasi terutama bagi yang mereka tak terpenuhi hak-hak sipilnya sebagai warga negara. Namun, sejauh yang bisa dipantau, kiprah Kang Jalal di wilayah politik praktis tak mengagumkan, untuk tak menyatakan gagal.
Lepas dari itu, saya tetap mengenang Kang Jalal sebagai intelektual Islam yang bebas dan berani. Ia sangat kritis bahkan terhadap semua hal. Namun, ia tahu batas. Ia misalnya tak pernah mengkritik apalagi menyalahkan Qur’an, Nabi SAW, dan Para Sahabat yang Ahli al-Bait.
Yang dilakukan Kang Jalal selama ini adalah mereview pemikiran para ulama Syiah di depan publik Islam Indonesia yang mayoritas Sunni. Ia tak banyak menafsirkan Qur’an. Ia lebih banyak mengutip kitab-kitab tafsir karya para ulama klasik dan kontemporer. Ia juga tak pernah betul-betul melakukan riset al-jarah dan al-ta’dil dalaam studi Hadits. Ia hanya mengutip para ulama lain yang menyoal kredibilitas sejumlah para perawi dan penulis Hadits.
Selamat Jalan, Kang Jalal. Saya kaget dengan meninggalnya Akang. Mestinya kita ketemu dalam satu forum lintas ulama, lintas negara di Teheran awal tahun 2019 kemarin. Tapi, Anda meng-cancel mungkin karena alasan kesehatan. Ya Ayyatauha al-nafs al-muthma’innah irji’i ila rabbiki radhiyatan mardhiyah.
Selasa, 16 Pebruari 2021