Memang, perbedaan adalah sunnatulah dan seharusnya membawa rahmat. Namun dalam kenyataannya, perbedaan selalu memakan banyak korban. Hal ini karena tidak adanya kesadaran pluralisme dan relativisme diantara mereka. Yang ada hanyalah truth claim, vinalitas, double standar dan kepentingan kelompok.
Karena itulah menghadirkan semangat Islam yang transformatif sebagaimana pada masa rasul menjadi niscaya. Hal ini bukan berarti hendak kembali kemasa nabi. Akan tetapi mengambil spirit dan semangat perjuangan nabi, sehingga Islam tidak kehilangan signifikansinya dan mampu membawa perubahan, liberatif, emansipatif dan transformatif. Islam yang pro status qou, mapan, konservatif harus segera dikesampingkan sembari menghadirkan Islam yang dicita-cita kita semua termasuk oleh Muhammad.
Sebuah Islam yang membawa perdamaian, keselamatan, petunjuk hidup, toleran dan kontekstual. Untuk mencapai cita-cita ini ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan.
Pertama, pemahaman tentang Islam. Artinya, kita harus sepakat bahwa Islam yang kita pahami adalah Islam yang menyejarah. Aspek historitas Islam beserta varian didalamnya juga turut mengkonstruk Islam yang ada sekarang ini. Sehingga, Islam bisa ditafsirkan sesuai dengan semangat zamannya dan menemukan kontekstualitasnya.
Tanpa memperhatikan konteks dan lokalitas tertentu, tentu Islam akan kehilangan “akar”nya ditengah-tengah masyarakat. Karena itulah, finalitas (kesempurnaan) Islam dengan berprinsip pada firman Tuhan bahwa Islam telah sempurna, final (QS.05; 03) perlu ditafsirkan ulang.
Kedua, perlu adanya kesepahaman bahwa Islam adalah salah satu fasilitas Tuhan untuk merubah tatanan dunia yang vandalistik, eksploitatif, jahiliyah. Ada banyak cara dan media bagi Tuhan untuk merubah dunia, misalnya melalui agama Kristen, Yahudi, atau kehadiran —misalnya–seorang Sidharta Gautama, Mahatma Ghandi, Karl Marx, bahkan Soekarno (QS. 35; 24).
Dan, semua media Tuhan itu mengandung pesan yang sama, yakni keselamatan dan pembebasan. Sehingga kita tidak boleh menutup mata akan kepelbagaian media yang digunakan oleh Tuhan. Kesemuanya itu pada dasarnya adalah sama (QS.05; 48, 2; 25).
Jika demikian, semua firman Tuhan harus ditafsirkan dalam kerangka pembebasan dan transformatif. Tuhan menurunkan Islam bukan untuk melanggengkan status qou, penindasan dan kemiskinan. Ia hadir tidak lain demi kemaslahatan manusia.
Ketiga, mempertegas relasi Islam dengan kekuasaan.
Dalam catatan sejarah, ketika agama “mesra” dengan kekuasaan seringkali tidak membawa dampak positif terhadap agama. Agama yang seharusnya menjadi medium protes sosial justru sebagai legitimasi bagi kepentingan penguasa.
Sebab, “ayat-ayat” agama dipandang cukup efektif dalam membius kesadaran dan kritisisme masyarakat. Maka tidaklah mengherankan manakala Marx mengatakan agama sebagai opium of society, Nietzsche berteriak lantang tentang kematian Tuhan (Death of God) dan Karen Amstrong dengan rasa skiptis mempertanyakan adakah masa depan bagi Tuhan.
Seorang teolog radikal, Thomas Altizer mengatakan bahwa kita harus menyadari bahwa kematian Allah merupakan kejadian historis, bahwa Allah telah wafat di dunia, dalam sejarah dan keberadaan kita.
Akhirnya, berkutat pada Islam klasik tanpa melakukan interpretasi terhadapnya adalah salah satu bentuk dari kejahatan, sebab mereduksi dan mendistorsi secara besar-besaran terhadap Islam itu sendiri. Wallahu A’lam