Secara konseptual Islam merupakan agama yang sempurna. Karena Islam telah mengatur semua aspek kehidupan umatnya secara rinci, baik pada domain individu, keluarga, maupun masyarakat. Maka sudah barang tentu apabila Islam dikatakan sebagai agama yang komplit dalam segi hukum sebagai panutan umatnya dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.
Termasuk dalam hal tuntunan membangun rumah tangga yang bertujuan menciptakan keluarga yang tentram (sakinah), penuh kasih sayang (mawaddah), dan cinta kasih (rahmah) yang diatur oleh hukum Islam. Pernikahan sebagai ikatan lahir batin yang bersifat aktual dan sakral dalam kehidupan manusia tidaklah etis apabila dilaksanakan tanpa melibatkan i’tikad yang baik. Oleh karena itu, pernikahan memerlukan kemantapan diri sebagai bentuk perjanjian suci bagi setiap insan.
Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan hal yang penting dalam kehidupan sebagai struktur dasar manusia. Pernikahan terjadi melalui proses di mana kedua belah pihak saling jatuh cinta dan merasa mereka akan sanggup melewati rintangan bersama-bersama dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Dan hukum Islam sendiri telah menetapkan syarat dan rukun pernikahan yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Salah satu rukun pernikahan yang dalam literatur fiqh adalah dengan adanya wali. Eksistensi wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu keniscayaan, karena pernikahan dapat dianggap sah salah satunya adalah dengan melibatkan wali. Yang dimaksud dengan wali disini adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai wanita dalam pelaksanaan akad nikah. Dan ini berlaku untuk semua wanita, baik yang statusnya masih perawan maupun sudah janda.
Lantas bagaimana dengan adanya Wali Mujbir?, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Contoh kecilnya adalah Imam al-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, dalam persoalan hukum fiqh mereka berdua sering berpendapat dengan bertolak belakang, dan dalam persoalan yang akan penulis bahas ini pastinya pembaca yang budiman sudah mengetahui ulama mana yang memperbolehkan hak Ijbar dengan tanpa penulis uraikan panjang lebar.
Namun yang menjadi pertanyaan dalam benak penulis saat ini ialah masih relevankah Wali Mujbir di era kontemporer ini? dan apakah bermaslahat apabila Waji Mujbir tetap diterapkan pada era ini melihat era yang serba instan, hanya dengan bermodal ibu jari sambil merebahankan badan kita sudah bisa tahu banyak hal tentang berita ter update setiap harinya. Pertanyaan mendasar inilah yang akan penulis kupas dalam tulisan ini berdasarkan paradigma penulis, dan pastinya juga didukung dengan data-data primer yang akan penulis jadikan acuan dalam tulisan ini.