KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bukunya yang berjudul Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2011), hlm. 241-242. Justru sependapat dengan argumen Madzhab Hanafi dan pendukung Madzhab Hanbali yang tidak mengakui hak ijbar diterapkan pada anak perempuannya yang telah baligh secara mutlak, baik masih perawan maupun sudah janda. Argumen yang dibangun berdasarkan pendapat ini, jika dalam persoalan muamalah saja unsur kerelaan menjadi syarat keabsahan akad, pastinya hal yang sunnah juga jika berkaitan dengan masalah perkawinan, yang jauh lebih urgent.
Di samping itu, beliau menganalogikan dimana jika perempuan telah dewasa, berakal, dan cerdas mereka bebas bertasharruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, lantas bagaimana pada konteks akad nikah?, pastinya mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Menurut beliau, walaupun wali bukan syarat sah nikah (menurut Imam Abu Hanifah), tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu (setara) dengannya, maka wali memiliki hak I’tirad (mencegah pernikahan). Karena bagi Kiai Sahal kesetaraan itu merupakan hak anak dan orang tua seperti apa yang disinggung dalam kitab Fath al-Mu’in.
Dalam persoalan wali mujbir, Kiai Sahal berpendapat bahwa, apabila orang tua memaksa anak perempuannya untuk dijodohkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya, maka ia berhak menolak perjodohan tersebut, begitu pula sebaliknya, orang tua berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Tetapi jika seorang perempuan memiliki hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak atau dalam istilah fiqh nya al-‘adhul. Maksud dari setara atau dalam bahasa arabnya al-kafa’ah ialah sederajat atau setingkat dalam domain nasab dan status (agama, kemerdekaan, profesi).
Jadi pada intinya hak ijbar yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan syara’, hanya diperkenankan apabila tidak dikhawatirkan menimbulkan akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung dalam kitab Bujairami Ala al-Iqna’ bahwa yang dimaksud “diperkenankan” pada perihal ijbar di sini bukan berarti mubah, melainkan makruh, yang berarti pernikahan semacam itu sebaiknya tetap dihindari.
Menurut Kiai Sahal orang tua meminta persetujuan pada anaknya, selain dianggap baik dari sisi pengamatan Rasulullah Saw, juga ada dukungan dari kaidah fiqh yang berbunyi al-khuruj min al-khilaf mustahab, yang artinya keluar dari perselisihan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda adalah sunnah. Karena bagi beliau persetujuan calon mempelai hendaknya mendapat perhatian sewajarnya.
Dari pemaparan di atas dapat dipahami, Kiai Sahal lebih cenderung terhadap pendapat Madzhab Hanafi dan pendukung Madzhab Hanbali yang tidak mengakui adanya hak ijbar oleh seorang wali. Alasannya, meskipun kesimpulan akhir dari beliau menggunakan term “mengkompromikan”, namun berdasarkan paradigma beliau walaupun syarat-syarat hak ijbar telah terpenuhi semua seperti apa yang dikemukakan oleh golongan Syafi’iyah, pernikahan yang semacam itu menurut beliau sebaiknya dihindari.
Benang merah munculnya ketidak sepakatan Kiai Sahal dengan Imam Syafi’i tidak lain adalah metodologi yang digunakan, dimana Imam Syafi’i lebih memprioritaskan qiyas dan masalikul ‘illat dalam berijtihad dan mengesampingkan aspek maslahahnya. Berbeda dengan Kiai Sahal, yang mana beliau sering menjadikan maslahah sebagai acuan syari’ah meskipun tetap mengikuti koridor ushul fiqh, tradisi Nabi, praktek sahabat dan para fuqaha’. Hal ini menandakan bahwa dalam proses istinbath hukum, Kiai Sahal selalu memperhatikan sikap proporsional. Dengan kata lain beliau tidak hanya mengikuti arus modernitas liberal semata, namun juga tetap berada dalam frame kewahyuan.