Jumat, Agustus 22, 2025
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Video
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Video
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Kajian
wali mujbir

wali mujbir

Meninjau Ulang Relevansi Wali Mujbir di Era Kontemporer (2)

Muhammad Rifqi Ali by Muhammad Rifqi Ali
10/03/2022
in Kajian, Tajuk Utama
8 0
0
7
SHARES
141
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bukunya yang berjudul Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2011), hlm. 241-242. Justru sependapat dengan argumen Madzhab Hanafi dan pendukung Madzhab Hanbali yang tidak mengakui hak ijbar diterapkan pada anak perempuannya yang telah baligh secara mutlak, baik masih perawan maupun sudah janda. Argumen yang dibangun berdasarkan pendapat ini, jika dalam persoalan muamalah saja unsur kerelaan menjadi syarat keabsahan akad, pastinya hal yang sunnah juga jika berkaitan dengan masalah perkawinan, yang jauh lebih urgent.

Di samping itu, beliau menganalogikan dimana jika perempuan telah dewasa, berakal, dan cerdas mereka bebas bertasharruf dalam hukum-hukum mu’amalat menurut syara’, lantas bagaimana pada konteks akad nikah?, pastinya mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Menurut beliau, walaupun wali bukan syarat sah nikah (menurut Imam Abu Hanifah), tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu (setara) dengannya, maka wali memiliki hak I’tirad (mencegah pernikahan). Karena bagi Kiai Sahal kesetaraan itu merupakan hak anak dan orang tua seperti apa yang disinggung dalam kitab Fath al-Mu’in.

BacaJuga

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (2) : Menunda Kebenaran, Meluaskan Perspektif

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (1) : Bagaimana Cara Anak Muda Menyelamatkan Akal Sehatnya

Menuju Kematangan Hubungan Umat Beragama : Catatan Akhir Tahun

Dalam persoalan wali mujbir, Kiai Sahal berpendapat bahwa, apabila orang tua memaksa anak perempuannya untuk dijodohkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya, maka ia berhak menolak perjodohan tersebut, begitu pula sebaliknya, orang tua berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Tetapi jika seorang perempuan memiliki hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak atau dalam istilah fiqh nya al-‘adhul.  Maksud dari setara atau dalam bahasa arabnya al-kafa’ah ialah sederajat atau setingkat dalam domain nasab dan status (agama, kemerdekaan, profesi). 

Jadi pada intinya hak ijbar yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan syara’, hanya diperkenankan apabila tidak dikhawatirkan menimbulkan akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung dalam kitab Bujairami Ala al-Iqna’ bahwa yang dimaksud “diperkenankan” pada perihal ijbar di sini bukan berarti mubah, melainkan makruh, yang berarti pernikahan semacam itu sebaiknya tetap dihindari. 

Menurut Kiai Sahal orang tua meminta persetujuan pada anaknya, selain dianggap baik dari sisi pengamatan Rasulullah Saw, juga ada dukungan dari kaidah fiqh yang berbunyi al-khuruj min al-khilaf mustahab, yang artinya keluar dari perselisihan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda adalah sunnah. Karena bagi beliau persetujuan calon mempelai hendaknya mendapat perhatian sewajarnya.

Dari pemaparan di atas dapat dipahami, Kiai Sahal lebih cenderung terhadap pendapat Madzhab Hanafi dan pendukung Madzhab Hanbali yang tidak mengakui adanya hak ijbar oleh seorang wali. Alasannya, meskipun kesimpulan akhir dari beliau menggunakan term “mengkompromikan”, namun berdasarkan paradigma beliau walaupun syarat-syarat hak ijbar telah terpenuhi semua seperti apa yang dikemukakan oleh golongan Syafi’iyah, pernikahan yang semacam itu menurut beliau sebaiknya dihindari. 

Benang merah munculnya ketidak sepakatan Kiai Sahal dengan Imam Syafi’i tidak lain adalah metodologi yang digunakan, dimana Imam Syafi’i lebih memprioritaskan qiyas dan masalikul ‘illat dalam berijtihad dan mengesampingkan aspek maslahahnya. Berbeda dengan Kiai Sahal, yang mana beliau sering menjadikan maslahah sebagai acuan syari’ah meskipun tetap mengikuti koridor ushul fiqh, tradisi Nabi, praktek sahabat dan para fuqaha’. Hal ini menandakan bahwa dalam proses istinbath hukum, Kiai Sahal selalu memperhatikan sikap proporsional. Dengan kata lain beliau tidak hanya mengikuti arus modernitas liberal semata, namun juga tetap berada dalam frame kewahyuan.

Page 1 of 2
12Next
Tags: FikihFiqhFiqh MunakahatFiqih KontemporerNikahPernikahanRukun NikahSahal MahfudhWali MujbirWali Nikah
Previous Post

Meninjau Ulang Relevansi Wali Mujbir di Era Kontemporer (1)

Next Post

Antara Toa, Suara Azan dan Gonggongan Anjing

Muhammad Rifqi Ali

Muhammad Rifqi Ali

Alumnus Perguruan Islam Mathali'ul Falah Kajen atau Santri Ma'had Aly Maslakul Huda Kajen, Pati

RelatedPosts

dekonstruksi di era digital
Kajian

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (2) : Menunda Kebenaran, Meluaskan Perspektif

26/07/2025
Peran Media Sosial Dalam Mewujudkan Siswa Toleran
Kajian

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (1) : Bagaimana Cara Anak Muda Menyelamatkan Akal Sehatnya

22/07/2025
edisi desember 2024
Bulletin

Menuju Kematangan Hubungan Umat Beragama : Catatan Akhir Tahun

25/12/2024
Yang Penting Bukan Pengangguran
Kolom

Yang Penting (BUKAN) Pengangguran

04/12/2024
Islamina Edisi November 2024
Bulletin

Menghidupkan Kesyahidan Pahlawan

18/11/2024
Bulletin edisi oktober
Bulletin Islamina

Jihad Santri di Abad Digital

11/10/2024
Next Post
Toa di masjid

Antara Toa, Suara Azan dan Gonggongan Anjing

bernyanyi di masjid

Bolehkah Bernyanyi di dalam Masjid?

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

hukum alam

Hukum Alam Adalah Hukum Tuhan: Apakah Mukjizat Mengingkari Sebab-Akibat

21/08/2025
Membantah Pernyataan Zulkarnain Yusuf Tentang “indonesia Negara Kafir”

Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Iman

15/08/2025
teologi kemerdekaan

Al-Baqarah : 177 – Peta Jalan Teologi Kemerdekaan dalam Islam

15/08/2025
kerusakan alam

Ketika Alam Tak Lagi Sakral: Ikhtiar Membangun Eko-Teologi dari Kritik Jantung Peradaban

02/08/2025
kurt godel

Ketika Tuhan Dibuktikan Tidak dengan Keimanan Buta, Tetapi dengan Logika: Kurt Gödel dan Rumus Ketuhanan

27/07/2025

Trending Artikel

  • Ulama Scaled

    Mengenal Istilah Rabbani

    319 shares
    Share 128 Tweet 80
  • 4 Penghalang Ibadah Kepada Allah Menurut Imam Al-Ghazali 

    298 shares
    Share 119 Tweet 75
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    264 shares
    Share 106 Tweet 66
  • Kitab Tajul ‘Arus: Makna Pengorbanan dan Obat Penyakit Hati

    256 shares
    Share 102 Tweet 64
  • Kitab “Majmû’ Fatâwâ” Karya Ibnu Taimiyah (1)

    248 shares
    Share 99 Tweet 62
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.