Ada perkataan dari Kiai Sahal, “Dalam konteks ini pula (hak ijbar) maka kriteria mu’tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab madzhab empat, sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqh sebagai produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu’tabar dan gairu mu’tabar berarti di situ ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah “al-ijtihad la yunqadu bi al-ijtihad” di atas”. Tujuan beliau adalah guna menghindari fanatisme bermadzhab. Prinsipnya, mana yang “reasonable” dan “applicable” bisa digunakan. Inilah yang selalu dijadikan pedoman Kiai Sahal dalam menetapkan suatu persoalan hukum. Itulah mengapa dalam menjawab persoalan wali mujbir ini, Kiai Sahal tidak lepas dari mencantumkan beberapa pendapat para ulama yang notabene pendapat-pendapat yang disampaikan berbeda dan bahkan kontradiktif.
Baca Juga: Meninjau Ulang Relevansi Wali Mujbir di Era Kontemporer (1)
Bibliografi:
Al-jaziri, Abdurrahman, al-Fiqhu Ala Madzahibi al-Arba’ah, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauzi, 2014).
Mahfudh, MA. Sahal, Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2011).