Pertikaian ini tidak berhenti pada wilayah politik semata. Pertikaian itu berlanjut pada ranah perdebatan teologis. Pertikaian politik yang diramu secara sakral oleh doktrin teologis memunculkan pertentangan baru yang bersifat batiniyah. Sampai kapan pun pertikaian ini tidak akan menemukan titik kesesuaiannya. Karena perdebatan teologis mengandung beberapa hal yang tidak pernah dipahami oleh salah satu pihak yang mempunyai standar sendiri . Wilayah ini adalah wilayah keyakinan.
Isu-isu tentang trinitas, ketuhanan yesus dan penyaliban (crucification) yang menjadi doktirn sentral dalam Kristen tidak akan mendapatkan celah sedikit pun dalam keimanan umat Islam. Begitu pula tuduhan teologis yang dilancarkan oleh Kristen terhadap Islam bahwa Islam adalah agama yang menuruti hawa nafsu, khususnya seksual, dan Muhammad adalah agen syaitan yang mengabarkan agama baru tidak juga bisa mempertegas keyakina umat Kristen dan menghancurkan keimanan umat Islam.
Isu-isu kontroversial yang dilontarkan oleh kedua agama itu tidak akan pernah bisa disatukan. dalam medan dialogis. Setiap pihak mempunyai standar tersendiri untuk membenarkan dirinya. Pandangan itu pun diselimuti oleh kabut kecurigaan dan dendam sejarah yang sudah melekat pada masing-masing pihak. Untuk menapaki zaman baru yang lebih indah dan harmonis Islam dan Kristen harus melakukan islah (rekonsiliasi) baik yang bersifat politik (sejarah) maupun teologis.
Sejarah telah berlalu. Ia tidak harus digunakan sebagai sandaran dan legitimasi pihak tertentu untuk menapaki masa depannya. Pembenahan diri dan refleksi panjang terhadap sejarah dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan merupakan keniscayaan. Hubungan harmonis antar keduanya juga menuntut untuk membuang double standar yang menjadi landasan kecurigaan mereka baik yang bersifat teologis maupun politis. Pelepasan diri dari rasa curiga dan dendam itu akan membawa Islam dan Kristen pada dialog yang intensif yang didasarkan pada premis awal “pengakuan timbal balik” (mutual recognition) yang sehat.