Belakangan isu yang pernah jadi soal saat masih kuliah, yaitu terkait faktor dominan mundurnya umat Islam mencuat kembali di media sosial. Terbitnya buku yang ditulis oleh seorang sarjana Turki Ahmet Timur Kuru sebenarnya sebagai pemicu utama. Apalagi setelah buku tersebut diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, semakin mudah diakses publik kemudian jadi bahan perbincangan.
Dalam buku tersebut, Kuru memang mempersoal terjadinya patronase antara ulama dan umara (pemerintah) yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Ulama yang tertuduh dalam buku tersebut di antaranya Abu Hamid al-Ghazali ( w. 1111 M). Menurut Kuru, peranan al-Ghazali dalam mematikan kreatifitas keilmuan sangat besar, khususnya dalam dunia filsafat. Menurut Kuru, hal tersebut masih terjadi di dunia Islam hingga saat ini. Meskipun di beberapa halaman, Kuru mengecualikan Indonesia masuk pada obyek permasalahannya.
Pengakuan menarik disampaikan oleh Ulil Abshar Abdala soal responnya yang pernah dilontarkan secara langsung kepada Kuru. Untuk konteks Indonesia, kata Ulil, perlu kajian yang lebih komprehensif dan banyak ketidak tepatan atas tesis Kuru yang saat ini digemari banyak anak-anak muda dan pemikir kritis liberal itu.
Namun karena tuduhan kepada sejumlah ulama itu makin masif disuarakan di media sosial, Ulil menampik melalui artikel panjang yang ia publish di media sosial. Menurut Ulil, tuduhan tersebut sangat tidak tepat. Meskipun ia juga mengakui kalau dunia Islam memang tertinggal jauh dengan Barat. Hanya saja dengan menuduh al-Ghazali dan Asy’ariyah sebagai biang keroknya, menurut Ulil, itu sangat tidak tepat.
Untuk mendukung argumennya, Ulil memberikan tiga kriteria yang ia bahasakan sebagai kluster atau gugus. Yaitu, kluster pemikiran, politik dan kebudayaan dengan mengambil obyek pada anak-anak muda NU. Sebab, kata Ulil, NU adalah salah satu organisasi Islam yang mengagumi pemikiran-pemikiran al-Ghazali.
Dari tiga gugus yang diajukan Ulil memperlihatkan kecemerlangan anak-anak muda NU dalam mendukung modernisme dan progresifitas umat Islam. Menurutnya, NU lah yang jadi pelopor penerimaan pemikiran-pemikiran segar dari para sarjana Timur dan Barat untuk kemajuan umat Islam di tengah kelompok Islam yang neo-puritan. Seperti para pemikir Nasr Hamid Abu Zaid, Hassan Hanafi, Arkoun, dan lainnya.
Namun yang tidak masuk pada perhatian Ulil adalah sains dan ekonomi. Saya sendiri tidak menangkap ia menguraikan kemajuan umat Islam dalam sains. Seperti yang sedang dikritisi oleh Luthfi Assyaukani terkait ketertinggalan umat Islam dalam bidang sains karena hanya sibuk berbicara pada konteks hukum normatif (baca: halal haram).