Contoh terbaru misalnya, ketika umat Islam Indonesia yang diwakili oleh MUI salah respon terhadap perkembangan ekonomi digital. Di sisi yang lain, pemerintah melalui Bappeti berupaya memberikan regulasi terhadap para pedagang yang terlibat pada aset kripto sebagai bentuk kreatifitas ekonomi digital. akan tetapi kelompok MUI justru berbicara lain.
Luthfi melihat bahwa agama hanya berkutat pada tataran masalah klasik, sementara dunia Barat yang tidak terkungkung pada norma-norma agama justru sudah bergelut pada konteks sains yang lebih modern seperti riset terhadap kehidupan di Mars, menemukan ginjal babi untuk transplantasi ginjal manusia, merubah enzim pohon dari yang gelap menjadi terang, dan hasil dari kecerdasan filsafat lainnya.
Dalam hal ini, Luthfi tidak menyinggung saja sekali sarjana muslim yang terlibat dalam perkembangan sains baik dari Indonesia maupun di luar negeri. Dalam konteks sains, Lajnah Kementerian Agama sudah mengakomodir untuk menulis tafsir Al-Qur’an berbasis sains dengan melibatkan ilmuan sains yang masuk pada kelompok kauni dan ulama yang masuk pada tim ilmi.
Saya melihat, antara Kuru, Ulil, dan Luthfi masing-masing punya landasan berpikir tersendiri yang berorientasi pada kemajuan umat Islam agar tidak hanya sibuk berbicara pada soal-soal klasik. Abdullah Saed dalam salah satu bukunya pernah menyoal terkait perdebatan antara Sunni Syiah yang sebenarnya tidaklah berarti untuk kemajuan umat Islam. Sebab seharusnya, sebagaimana disampaikan oleh Amin Abdullah, agama Islam bisa memberikan kemajuan untuk ekonomi, sosial, sains modern dan sejenisnya.
Pertanyaan yang menurut saya penting diajukan, apakah kemunduran umat Islam saat ini terhadang oleh teks-teks agama atau karena kemalasan? Itu saja.
Baca Juga:
Benarkah al-Ghazali dan al-Asy’ari Sumber Kemunduran Dunia Islam?