Aksi intoleransi masih menjadi pembahasan yang fenomenal di tengah realitas masyarakat. Berbagai kekerasaan yang mengatasnamakan agama merupakan perilaku yang dapat menegasikan peran agama itu sendiri, terkhusus agama Islam. Demikian kenyataannya, ajaran agama terkesan eksklusif ketika memahami sebuah perbedaan.
Eksistensi keberagaman seharusnya dapat menumbuhkan rasa saling menghormati dan kepedulian yang tinggi antara satu dengan yang lain. Lantaran homogenitas (persamaan) merupakan sebuah kemustahilan, Maka manusia harus dapat memahami keberagaman dengan menghadirkan nilai-nilai agama didalamnya. Artinya, seorang muslim yang diharapkan menjadi duta Rahmatan Lil Alamin harus bisa merefleksikan kembali nilai-nilai religius di atas realitas keberagaman tersebut.
Terlebih seorang Muslim selayaknya menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai patron dalam mengejawantahkan ajaran Islam. Hal demikian dapat dilakukan dengan menghadirkan kembali aktivitas dakwah Nabi kepada orang-orang Muslim bahkan kepada mereka yang berada di luar agama Islam (Non-Muslim) dengan mengedepankan spirit cinta kasih, persaudaraan, dan kemanusiaan.
Prinsip Humanisme
Islam hadir di tengah kondisi masyarakat yang diskriminatif. Fanatisme golongan (kabilah) telah menjauhkan manusia dari peran mereka sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon). Perbudakan merajalela, mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan peperangan yang berkutat di antara pemeluk kabilah adalah fenomena yang menggambarkan kondisi sosio-kultural pada masa itu. Berangkat dari fenomena tersebut, Nabi dengan ajaran Islam berupaya mengangkat kembali posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki intuisi humanis.
Awalnya Nabi memperkenalkan kepada mereka konsep tauhid (keesaan Allah) yang mengharuskan manusia untuk menyembah pada Tuhan yang satu [Q.S. al-Ikhlas: 1-5]. Konsep tersebut melahirkan dua prinsip utama yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Pertama, al-Musawah (kesetaraan). Bahwa tidak ada manusia yang berhak merasa lebih tinggi (superior) di antara manusia lainnya. Sebab manusia memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah, kecuali mereka yang bertakwa.
اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Kedua, al-Hurriyyah (kemerdekaan). Setiap manusia memiliki hak kemerdekaan untuk menjalani kehidupan mereka di dunia. konsep ini melahirkan konsekuensi paradigma yang humanis. Bahwa segala bentuk perbudakan yang terjadi atas pengaruh hegemoni kekuasaan, kelompok, maupun kabilah, telah menodai nilai-nilai kemanusiaan.
Setelah menanamkan konsep tauhid kepada hati masyarakat. Nabi menggagas sebuah konstitusi yang mengafirmasi nilai-nilai humanisme. Konstitusi tersebut dikenal dengan “Konstitusi Madinah”. Konstitusi madinah (piagam madinah) adalah bukti sejarah mengenai konstitusi pertama yang dibangun oleh Nabi SAW.
Untuk pertama kalinya dalam piagam itu disebutkan dasar-dasar masyarakat yang partisipatif dan egaliter dengan ciri utama: konsep persamaan hak bagi seluruh warga komunitas madinah. Peristiwa itu merupakan representasi dari ajaran Islam yang disampaikan oleh nabi untuk mempersatukan warga negara yang bersifat majemuk secara sosio-kultural maupun keagamaan [Demokrasi Madinah, Model Demokrasi Cara Rasulullah, 2003].