Di masa awal, beberapa ulama yang populer sebagai guru besarnya, seperti Abu Ishak as-Syirazi (w. 1083 M), imam al-Haramain (w. 1085 M), dan Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M).
Kesejahteraan para guru, termasuk gaji, sarana dan prasarana yang mengajar di Nizamiyah juga dijamin oleh pemerintah. Sehingga produktifitas keilmuan di Madrasah tersebut terus terjaga dan hasilnya masih bisa kita nikmati sampai sekarang. Upaya-upaya seperti ini masih diterapkan di lembaga pendidikan yang ada di Timur Tengah, seperti di Mesir maupun di Saudi Arabia.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Menarik jika berkaca dari gaji pengajar di Pesantren yang merupakan representasi dari gaji guru honorer di lembaga pendidikan.
Riset yang dilakukan oleh Dhofier misalnya, mengatakan jika para guru pesantren bahkan pendirinya pun di era 1940 an, semula bertahan hidup dari berjualan, yang mayoritas pembelinya adalah santrinya sendiri dan juga masyarakat (Dhofier 2015).
Namun nasib seperti itu tidak terjadi pada para guru ketika masih didapuk oleh kerajaan, karena secara historis para kiai atau guru agama dulunya merupakan penasihat istana (Bruinessen 2010).
Seiring bergejolaknya politik perpecahan yang dimotori oleh kolonial sehingga mengharuskan para kiai mendirikan pesantren di pedalaman yang jauh dari perkotaan dan istana. Tampaknya dari akar historis itulah sehingga masih terjadi seperti yang dilihat oleh Dhofier pada para kiai di Jawa Timur.
Namun nasib yang dilihat oleh Dhofier itu berbalik dengan para guru yang mengajar di sekolah Hindia Belanda. Konon mereka mendapat penghormatan tinggi di masyarakat maupun ekonomi.
Di masyarakat mereka dipanggil dengan “Ndoro” dan dipandang sebagai orang pribumi kelas atas. Meskipun demikian, para guru di era kolonial lah yang menginisasi gerakan kebangsaan dan mencerdaskan masyarakat.
Intinya, jadi guru memang profesi yang memerlukan perjuangan lahir maupun batin. Hal inilah yang sering dibicarakan di berbagai forum, apakah generasi milenial masih minat jadi guru? karena secara finansial jauh berbeda dengan gaji pegawai perusahaan atau pengusaha industri kreatif.
Namun fakta-fakta demikian menuntut pemerintah mencarikan solusi agar guru berhak menikmati hidup sejahtera sebagaimana yang lain.