Ketika Densus 88 menangkap Farid Ahmad Okbah (FAO) dan anggota MUI, Dr. Zain an-Najah yang merupakan anggota komisi fatwa MUI sebagai terduga teroris, sangat mengagetkan publik. Mungkin sama dengan saya, mereka mengajukan pertayaan, apakah benar yang bersangkutan merupakan anggota MUI Komisi Fatwa, atau hanya sekedar hoax saja?
Namun setelah beredar surat klarifikasi resmi dari MUI yang membenarkan bahwa Dr. Zain an-Najah, sosok doktor alumni Al-Azhar Mesir itu memang anggota resmi komisi Fatwa MUI, sehingga semua sudah klir. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi kalau di anggota MUI ada orang yang berafiliasi pada gerakan terorisme. Ia ditangkap bersama dengan Farid Okbah.
Dari penegasan BNPT, diungkap bahwa Farid Okbah merupakan koordinator kelompok teroris dari Jamaah Islamiyah dan al-Qaeda ketika berada di Afganistan. Dari temuan BNPT, Farid Okbah di Afganistan bukan dalam rangka untuk latihan maupun pendidikan, melainkan secara khusus dia bertugas menjadi koordinator afiliasi JI dengan al-Qaeda di Afganistan (Liputan6.com).
Posisi Okbah dalam JI menurut BNPT sebagai koodinator yang melatih para ustaz jihad untuk diterjunkan ke daerah-daerah dengan mengadakan daurah. Peranan seperti ini sudah dilakukan oleh Okbah dari puluhan tahun lalu. Begitu juga posisi Dr. Zain an-Najah di kelompok teroris JI sebagai dewan Syuro. Sebenarnya hubungan antara Farid Okbah dan Zain an-Najah sudah terjalin sejak lama dalam membangun kepengurusan yayasan yang terlibat pada JI. Tetapi kenapa jejak seburuk ini tidak tercium dan justru bisa masuk dengan mulus ke tubuh MUI, yang notabenenya sebagai lembaga fatwa para ulama Indonesia?
Memang MUI sendiri sebagai organisasi, menurut Nur Ichwan dalam salah satu artikelnya pernah menyebut MUI mengembangkan ideologi moderat tetapi puritan (puritanical moderate Islam). Asumsi tersebut juga tidak menegasikan MUI memang diisi oleh para tokoh lintas organisasi dari NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Oleh karena itu, menurut Ichwan, MUI bisa ditarik pada arah progresivitas, tetapi juga bisa ditarik pada arah konservatif.
Namun, pada konteks Aksi Bela Islam, Ichwan melihat sebagai ladang romantisme MUI dengan kelompok modernisme Islam. Kesimpulan yang sama juga pernah dilihat oleh Suaedy bahwa dalam MUI merupakan asosiasi para tokoh agama dari berbagai lintas pemikiran. Namun pada faktanya beberapa kali menundukkan pemerintahan pada paham radikal. Contoh pada kasus “penenggelaman Ahmadiyah” di era SBY.
Dalam kontestasi fatwa di MUI, menurut Ichwan, kelompok radikal meskipun tidak banyak tetapi sangat berisik (noise minority). Peristiwa fatwa MUI terhadap penodaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta merupakan salah satu bukti ketika sekelompok komisi fatwa MUI merebut otoritas dengan dukungan kelompok GNPF sehingga muncullah Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid di Monas.