Survei tersebut mencakup responden dewasa dan remaja tentang interaksi online mereka dan pengalaman mereka menghadapi risiko online. Paling tinggi adalah hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke angka 47 persen. Kemudian faktor ujaran kebencian yang naik 5 poin, menjadi 27 persen. Dan ketiga adalah diskriminasi sebesar 13 persen, yang turun sebanyak 2 poin dibanding tahun lalu. Kemunduran tingkat kesopanan paling banyak didorong pengguna dewasa dengan persentase 68 persen. Sementara usia remaja disebut tidak berkontribusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia pada 2020.
MUI Haramkan Ujaran Kebencian di Dunia Maya
Pernyataan kebencian sangat berbahaya dan bertolak belakang dengan ajaran Islam yang menghargai dan menghormati orang lain. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, sebaik-baiknya keadaan adalah menjaga kata-katamu dari semua bahaya mengumpat, mengadu domba, bermusuhan, berdebat, dan lain-lain.
Kajian tersebut yakni, mengenai apa yang diizinkan, yang tidak ada bahaya baginya dan bagi orang lain sama sekali. Jika berbicara yang tidak perlu, maka sesungguhnya telah menyia nyiakan-nyiakan dan telah menggantikan apa yang baik dengan yang buruk. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa bahwa mengharamkan perbuatan ujaran benci, penyebaran hoaks atau semacamnya hingga dengan bermuamalah tanpa mendasar. Dalam fatwa tersebut tertulis: Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan, Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan. Kemudian, menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i. Terakhir menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
Sadar Literasi Digital dan Pendewasaan Bermedia Sosial
Ini membuktikan, perlu ada dorongan dan perhatian khusus untuk membatasi permasalahan tersebut. Dengan menjadi smart netizen dan paham akan sadar ber-Media Sosial. Polemik netizen nakal dapat diminimalisir sejak dini. Edukasi literasi digital perlu digaungkan pemerintah, untuk memberikan pemahaman. Pentingnya peran pemuda mengendalikan manfaat bonus demografi kedepan.
Selain itu, karakter netizen harus terus ditempa sebagai doktrin nasionalis, menjaga nama baik Bangsa Indonesia. Dimulai dengan mengatur emosional diri terhadap kehormatan negara. Hingga doktrin keagamaan berwatak Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Al Wasathiyah (moderat). Karena tak dipungkiri, sejak Indonesia diterpa dengan kondisi pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu, membuat dampak karakter kebanyakan netizen Indonesia semakin sensitif, terhadap respon problem sosial. Sehingga, perlu penanganggulan khusus dari Pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut.