Otoritas Politik dalam Negara Khilafah Bagian 1 – Politik makna asalnya (dalam bahasa Yunani) adalah “mengatur kota”, maksud dari kota adalah negara. Pengaturan kota di sini bisa melalui partisipasi “warga negara” dalam jajak pendapat dan pengambilan keputusan, dalam hal ini sarana mereka adalah membalas pendapat dengan pendapat.
Makna tersebut tidak berbeda dengan makna politik saat ini. Tetapi yang jelas bahwa negara modern lebih besar daripada “kota”, sehingga tentu saja lebih kompleks bersamaan dengan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang lebih luas. Tidak ada salahnya kalau kita meletakkan negara pada posisi “kota” sebagaimana pada definisi di atas, dan kita bisa mengatakan: politik adalah mengatur masalah-masalah negara.
Masalah-masalah negara sangat banyak dan bercabang-cabang, di antaranya: masalah-masalah kenegaraan (menjaga batas-batas, kesatuan tanah air, rakyat dll.), dan masalah-masalah kebangsaan (kepentingan-kepentingan ekonomi, independensi politik tradisi kebudayaannya, dll.).
Di antara masalah-masalah kenegaraan sebagai institusi yang mewakili umat dalam menjalankan kekuasaan adalah menjaga keamanan, mewujudkan keadilan, mencanangkan kemajuan, perkembangan untuk kemudian merealisasikannya, serta menjalin hubungan dengan negara-negara lain guna menjaga kepentingan-kepentingan eksternalnya, termasuk juga ekonomi, strategi dan lain sebagainya.
Melihat fungsi politik yang sedemikian banyak, dapat disimpulkan bahwa politik mempunyai peranan sangat signifikan dalam kehidupan. Politik, atau pengaturan masalah-masalah negara, merupakan aktivitas yang akan dapat terlaksana dengan baik melalui pemberian kebebasan kepada seluruh warga negara. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan dalam banyak hal, kebebasan berbicara, berpendapat dan kebebasan lainnya, yang tentu saja untuk kepentingan negara itu sendiri.
Di masa klasik, otoritas politik dimanifestasikan dalam bentuk negara khilafah. Sebuah bentuk negara teokrasi yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memegang otoritas penuh, baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia atau agama. Di sini kita perlu membahas masalah khilafah. Masalah khilafah akan mengalihkan perhatian kita pada masalah akar kekuasaan dan sistematisasi negara Islam. Problem khilafah sudah ‘merangsang’ sebuah upaya yang boleh dibilang berani dari seorang pemikir Mesir Syaikh Ali Abdur Raziq tahun 1925, yaitu sekularisasi pemikiran Islam.
Di sini akan dipaparkan beberapa penjelasan awal. Terdapat tiga istilah yang perlu kita selidiki. Istilah pertama adalah “al-khalîfah”, yang berarti pemimpin umat Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Istilah kedua adalah al-imâm, yang secara definitif berarti seseorang yang memimpin umat Muslim dalam shalat dengan menghadap Ka’bah. Bisa dikatakan bahwa al-imâm adalah pemimpin rohani juga. Adapun istilah yang ketiga adalah al-sulthân, yang mempunyai arti seseorang yang menjalankan dan menangani kekuasaan dalam artian politik yang bersifat duniawi.