Islamina.id – Penulis hendak mengatakan, bahwa inti dari beragama adalah ketundukan, yakni tunduk kepada apa saja yang menjadi aturan dan ketentuan Tuhan tanpa harus tahu lebih dulu tujuan dan hikmahnya. Hal ini dalam istilah lain disebut ta’abbud(ibadah).
Aturan dan ketentuan Tuhan ada dua :
- Ketentuan dan aturan yang harus ditaati oleh alam materi, seperti bulan dan matahari.
- Ketentuan dan aturan Tuhan yang harus ditaati oleh manusia sebagai makhluq Tuhan yang terdiri dari materi dan ruh.
Dalam kenyataan, alam materi lebih tunduk pada aturan Tuhan dari pada manusia. Bisa dikatakan, bahwa alam materi tidak pernah durhaka kepada Tuhan.
Ketundukan manusia pada aturan dan ketentuan Tuhan lahir dari mahabbah (rasa cinta), dan mahabbah lahir dari ma’rifat, yakni keyakinan dan pengetahuan tentang Tuhan sebagai dzat yang berhak untuk disembah dan ditaati.
Ma’rifat sendiri dari mana datangnya? Para ulama membagi ma’rifat kepada dua bagian: ma’rifat ta’rîf dan ma’rifat ta’arruf.
Ma’rifat ta’rîf ialah ma’rifatnya kaum intelek (ilmuwan, mutakallimin, dan filosof) yang diperoleh melalui tafakkur dan renungan akan ciptaan-ciptaan Allah. Sedangkan ma’rifat ta’arruf ialah ma’rifatnya kaum sufi yang diperoleh melalui mujâhadah, membersihkan jiwa, dan hati dari kotoran dan dosa. Ma’rifat ta’rîf dianggap sebagai ma’rifat kelas dua karena pemiliknya hanya bisa melihat dalil, tidak bisa melihat madlul atau hanya bisa melihat ciptaan (akwân), tidak bisa melihat penciptanya (mukawwin).
Di era ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, kajian tentang eksistensi Tuhan banyak dilakukan ilmuwan (scientist) Barat dan ternyata hasil kajian mereka tentang Tuhan tidak berbeda dengan yang ada di dalam kitab-kitab suci, termasuk al-Qur’an. Sebagai contoh, penulis kemukakan pernyataan beberapa pakar ilmu pengetahuan Amerika sebagai berikut :
- Claude M. Hashway: “Alam semesta ini tidak lain adalah sebuah gumpalan yang tunduk pada sistem tertentu. Dengan demikian, alam ini butuh pada sebab pertama (al-sabab al-awwal) yang tidak tunduk pada hukum termodinamika yang kedua dan sudah barang tentu sebab pertama itu immaterial (lathîf)”.
- John Adolf Baoer: “Kita tidak ingin terjebak dalam kesalahan seperti dialami orang-orang kuno, dengan meyakini banyak Tuhan untuk mendapatkan penafsiran terhadap hal-hal yang tidak jelas, di mana masing-masing Tuhan memiliki kekuasaan tertentu dan tugas tertentu. Setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan dan ketika fenomena alam yang dulu gelap sudah dapat dipahami dan hukum-hukumnya telah diketahui, manusia tidak lagi memerlukan banyak tuhan yang dulu mereka buat, tetapi banyak manusia mengingkari wujud Allah justru karena sebab ini”.
- Andrew Conway Aigea: “Saya telah mengkaji sifat-sifat Allah secara panjang lebar dengan basis logical analysisseperti yang dilakukan para filosof. Dan dengan menggunakan logika, bisa dicapai kesimpulan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat tertentu. Berikut ini dikemukakan tidak secara lengkap beberapa sifat Allah; Allah itu kekal-abadi (bâqi), immaterial (lathîf), tidak baharu (qadîm), maha suci…..Haq, Maha Tahu (‘alîm), berkehendak (murîd), …sumber segala kebaikan.”
Berhubung keberagamaan seseorang dibangun di atas dasar keyakinan, maka logikanya tidak boleh ada paksakan dalam agama, tidak boleh ada paksaan untuk meyakini atau tidak meyakini suatu agama. Hal ini merupakan salah satu prinsip dalam agama Islam. Al-Qur’an meyatakan: “Apakah kamu hendak memaksa manusia agar mereka menjadi mukmin”(Qs.Yunus : 99)
Hal lain yang mutlak harus dijadikan prinsip umat beragama adalah prinsip toleransi (al-tasamuh). Ini berangkat dari kesadaran bahwa segala perbedaan, termasuk perbedaan dalam beragama, merupakan fitrah kemanusiaan. Mengingkari perbedaan berarti mengingkari fitrah. Sejalan dengan fitrah itu, al-Qur’an menyatakan: “Barang siapa mau beriman silahkan beriman, dan barang siapa mau kafir silahkan kafir” (Qs. al-Kahfi : 29). Dengan prinsip toleransi, maka tidak diperlukan upaya menyatukan agama dan tidak perlu ada usaha menciptakan keyakinan bahwa semua agama benar. Sebaliknya, dengan adanya keyakinan semua agama benar tidak diperlukan toleransi dalam agama.
Salah satu realitas yang banyak terjadi di atas bumi ini ialah, bahwa pemeluk suatu agama bangga dengan agamanya dan berkeyakinan bahwa agama yang ia anut saja yang benar kemudian berupaya untuk membentengi agamanya itu, misalnya dengan memperkokoh tali ukhuwwah diniyyah di antara sesama pemeluk agama tersebut. Ini sah-sah saja bahkan logis dan rasional.
Yang tidak logis dan tidak rasional bahkan berbahaya adalah bila orang yang meyakini suatu agama membenci dan memusuhi agama lain, apalagi sampai menghalalkan darah dan harta penganut agama lain. Meski ini tidak masuk akal dan berbahaya, tapi banyak orang yang melakukannya. Termasuk dari kalangan umat Islam, bahkan sebagian menganggap bahwa dengan aksi seperti itu, mereka telah ber-taqarrub ila Allâh (mendekatkan diri kepada Allah).
Boleh jadi maksud mereka baik, tapi yang terjadi sebaliknya. Mungkin maksud mereka ingin memoles wajah agamanya agar tambah anggun, tapi malah mencorengnya. Maklum, pada umumnya mereka hanya punya modal semangat, sementara pengetahuan yang cukup tentang agamanya tidak mereka miliki secara memadai.
Adalah runyam bila agama mengajari pemeluknya membenci atau menyerang pemeluk agama lain yang tidak bersalah. Apa jadinya bila pemeluk agama lain itu keluarganya sendiri; bapaknya, pamannya, kakeknya, atau yang lain. Islam sendiri tidak melarang pemeluknya sengaja memiliki paman, kakek, atau nenek yang beragama lain.
Perlu disimak ajaran al-Qur’an tentang hal ini: “Dan jika keduanya (bapak dan ibumu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak punya pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti (kemauan) mereka, dan temanilah mereka di dunia ini dengan baik“. (Qs. Luqman : 15).