Ketiga, metode pengajaran. Sebagai konsekuensi penempatan agama sebagai kajian doktriner, maka metode pengajaran yang dikembangkan oleh guru seringkali menoton, dan membosankan. Kreatifitas guru seringkali dihadapkan pada dogma bahwa “pendidikan agama harus serius”. Karenanya pendidikan agama harus disampaikan dengan metode yang doktriner, top-down, berbasis hafalan, dan miskin pertanyaan kritis.
Keempat, kompetensi dan profesionalisme guru. Di sejumlah lembaga pendidikan, yang mengajar agama Islam bukan ditentukan dari kualifikasi wawasan yang dimiliki, tetapi lebih kepada siapa yang tampak “sholeh-sholehah” dengan ukuran yang sangat verbalistik, misalnya ia sudah menunaikan haji, ada bekas sujud di keningnya, berjenggot dan paling cepat datang ke mesjid.
Hambatan Pendidikan Karakter
Selain dari pada itu, tantangan lainnya adalah rendahnya kompetensi multikultural (multicultural competence) para pendidik. Studi yang dilakukan oleh PPIM-UIN Syarif Hidayatullah (2016) mengkonfirmasi hal ini. Ditemukan bahwa 81% guru PAI tidak setuju pendirian rumah ibadah agama lain di wilayahnya. 74% menolak memberikan ucapan selamat hari raya kepada penganut agama lain. Bahkan, ditemukan sebanyak 87,89% guru dan dosen yang menyatakan setuju jika pemerintah melarang keberadaan kelompok-kelompok minoritas yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Atas dasar itulah, guru menyatakan tidak setuju jika Pendidikan Agama Islam (PAI) bertujuan untuk membentuk siswa yang toleran dan berbuat baik kepada penganut Syiah (54,70%), dan Ahmadiyah (53,60). Mayoritas guru dan dosen PAI berpendapat bahwa materi PAI yang diberikan harus bertujuan untuk menambah keimanan dan ketaqwaan siswa dan mahasiswa.
Dalam konteks ini, perlu disadari bahwa ukuran ketaqwaan dan keimanan siswa lebih banyak diukur pada seberapa kuat hafalannya terhadap hukum Islam dan seberapa rajin ia melakukan ibadah. Sementara itu, toleransi, membangun kerukunan dengan intra dan antar agama yang merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam tidak masuk dalam indikator keimanan dan ketaqwaan seseorang.
Jika pola pikir seperti ini terus dipelihara, rencana penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan agama (Islam, salah satunya) seperti yang dicanangkan oleh pemerintahan Joko Widodo-KH. Ma’ruf Amin, akan mengalami hambatan yang cukup serius. Alih-alih berkontribusi pada pembentukan mental yang compatibledengan kodrat zaman dan alam, pendidikan agama Islam justru berpotensi semakin menebalkan pola pikiran intoleransi di kalangan siswa dan mahasiswa.
Karena itulah, gerakan revolusi mental yang dicanangkan oleh pemerintah harus dimulai dari revolusi cara pandang terhadap tujuan pendidikan agama, serta positioning pendidikan agama pada kurikulum pendidikan nasional, selain tentunya, peningkatan kompetensi multikulturalisme pendidik di semua jenjang pendidikan.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Media Indonesia, 29 Juli 2019