Menanggapi keresahan publik tentang ‘Penolakan Ceramah’ di berbagai daerah, patutnya juga membaca dan memahami faktor-faktor yang bersifat deterministik. Sebagai Muslim, kita juga tidak boleh mengesampingkan moral dan budaya yang dipegang. Wa bil khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Salah satu Da’i kenamaan, Hanan Attaki, menjadi isu yang akhir-akhir ini diangkat oleh beberapa media. Alasannya adalah ia ditolak ceramah di beberapa daerah (Jawa Timur) seperti Gresik, Jember, dan Situbondo. Daerah-daerah tersebut memiliki alasan dasar tersendiri atas penolakan ceramah.
Pihak yang kontra mensinyalir muatan ceramah atau syiar yang dilakukan Hanan berbanding terbalik dengan konsep keislaman Muslimin Indonesia. Lebih dari itu, Hanan masih menganut ideologi transnasional. Oleh karena itu, kegiatan ceramah yang bertajuk “Konser Langit” tersebut, memberi dampak penolakan ceramah pada wilayah-wilayah itu.
Narasi yang berkembang —pihak pendukung Hanan — yakni penolakan ceramah. Kemudian digeneralisasi menjadi kasus Islamophobia. Latar belakang ini masih samar-samar, destinasi tuduhan Islamophobia kemana yang pantas diberi, baik kepada pihak maupun wilayah di Indonesia.
For justice, kajian ini adalah memahami konteks penolakan ceramah dengan menafsirkan sosial keagamaan yang telah ada di Nusantara. Sebagai sesama anak bangsa, prinsip persatuan dan keagamaan perlu diutamakan. Walaupun konfliknya masih terus ada, solusi penanganannya wajib dilakukan.
Tolak Ceramah adalah Islamophobia: Sebuah Premis?
Kasus penolakan ceramah Hanan Attaki di berbagai kota, menunjukkan adanya konflik sosial pada masyarakat. Berkaca dari kasus penolakan ceramah, beberapa juga kasus yang sama (selain Hanan) yang juga ditolak. Contohnya kasus ustadz Abdul Somad yang dilarang masuk negara Singapura, Firanda, Khalid Basalamah, dan lainnya. Lalu, apakah ini bisa dikategorikan sebagai ‘Islamophobia’?
Kata ‘Islamophobia’ sendiri mulai diangkat sekitar tahun 1990-an. Mengutip laporan Runneymede tahun 1997, definisi Islamophobia yaitu suatu ketakutan, kebencian, dan permusuhan terhadap agama Islam dan Muslim. Yang dilakukan oleh serangkaian pandangan tertutup, menyiratkan dan mengaitkan stereotip negatif dan menghina kalangan Muslim (Kalin, 2011). Di Barat, istilah kontroversi ini juga meluas dengan isu seperti politik, imigrasi, pendidikan, dan lingkungan kerja.
Terasa berbeda dengan realitas masyarakat di Indonesia. Sebagai negara dengan status penduduk mayoritas Muslim, kemudian disematkan tuduhan adanya Islamophobia —dengan penolakan ceramah dan sebagainya— harus dikaji kembali. Apakah benar penyematan itu layak atau hanya sekedar isu titipan?
Secara historis, bentuk-bentuk ketakutan tentang hilangnya rasa ‘keislaman’ di Indonesia sejak masa kemerdekaan. Dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta menjadi fakta bahwa terdapat dinamika antar sesama anak bangsa soal ketakutan hilangnya rasa Islam. Beruntungnya, tujuh kata yang dihapus dan telah diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”, negara ini selamat dari model negara teokrasi ataupun negara sekuler.
Pada fase orde baru, Soeharto juga mengakomodir kepentingan umat Islam dalam berbagai bentuk. Misal, terbitnya Undang-Undang tentang Perkawinan 1974, Kompilasi Hukum Islam 1991, terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Bank Muamalah atau Syariah (Syamsuddin, 2010). Soeharto sendiri merasa takut akan kekuatan kelompok Islam, yang ia yakini dapat mengganggu politik kekuasaannya.