Tak hanya membentuk Badan Amal Sosial, Tengku Fakinah juga menakhodai pembentukan sebuah kuta pertahanan yang memfokuskan kegiatannya seperti membuat pagar, menggali parit, dan memasang ranjau-ranjau. Kesemuanya itu dilakukan oleh Tengku Fakinah bersama para perempuan lain. Setelah pembuatan kuta pertahanan tersebut, ia menikah lagi dengan Tengku Badai seorang alim ilmu keagamaan dari Kampung Langa, atas saran pemuka masyarakat kala itu. Mengingat perjuangan untuk membela Tanah Air sangat berat.
Namun, nasib mujur tampaknya belum berpihak kepada sepasang kekasih antara Tengku Fakinah dan suami keduanya ini. Dalam pertempuran melawan penjajah Belanda, Tengku Badai pun tewas. Sementara Tengku Fakinah sempat berhasil menyelamatkan diri walaupun keberadaannya masih tercium oleh pasukan Belanda. Ia pun mengungsi ke Lammeulo. Kemudian pindah lagi ke Tangse dan membangun tempat tinggal di Balang Peuneuleun.
Pada tahun 1910 Tengku Panglima Polem menganjurkan Tengku Fakinah kembali ke kampung halamannya untuk membuka kembali Dayah yang pernah didirikannya, agar masyarakat Aceh memperoleh pendidikan agama kembali. Ia pun menerima saran tersebut. Setelah sampai di kampung halamannya, Dayah tersebut didirikan dan disambut sangat baik oleh masyarakat setempat. Murid-muridnya pun bertambah banyak, baik dari lingkungan sekitar maupun dari luar daerah. Bahkan muridnya melampaui dari awal pertama kali didirikan.
Pada tahun 1914 Tengku Fakinah berkeinginan hendak menunaikan ibadah haji. Karena itu, ia berniat untuk menikah kembali agar memiliki seorang mahram ketika berangkat ke Mekkah. Lalu, menikahlah dengan Tengku Ibrahim, dan mereka berangkat ke Mekkah diantar oleh para santrinya sampai ke Subang.
Di Mekkah, Tengku Fakinah dan suaminya tidak sekadar menjalankan ibadah haji, tetapi mereka juga memperdalam beragam ilmu-ilmu keislaman kepada beberapa guru/syekh, baik yang dari Mekkah maupun Madinah. Sayang, di tahun 1918 Tengku Fakinah menjanda untuk ketiga kalinya. Tengku Ibrahim meninggal dunia di Mekkah. Setelah itu Tengku Fakinah pun kembali ke Tanah Air penuh duka dan luka mendalam.
Tampaknya, ilmu pengetahuan yang diperoleh Tengku Fakinah di Mekkah memberikan pengaruh signifikan terhadap dirinya, khususnya tentang strategi melawan dan mengusir penjajah. Adalah tidak cukup melawan penjajah bermodalkan senjata dan perang semata. Akan tetapi, haruslah dilengkapi dengan ilmu pengetahuan.
Sekembalinya ke Aceh, Tengku Fakinah mengajarkan seluruh ilmu pengetahuan yang diperoleh dari Mekkah dengan penuh kesungguhan hingga akhir hayatnya. Kemudian, pada tahun 1938 ia pun menghembuskan nafas terakhirnya di kampung halaman sendiri setelah beberapa tahun mengasuh dan mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara, khususnya melalui pendidikan.