Selama ini terorisme sangat identik dengan laki-laki. Namun, kluster baru dalam fenomena terorisme adalah perempuan. Bagaimana pergeseran peran perempuan dalam jejaring terorisme?
Tidak ada kategori khusus bagi seseorang pelaku teroris baik dari aspek umur, latabelakang sosial maupun gender. Siapapun dengan aspek kerentanan tertentu berpotensi terjerat dalam jaringan dan aksi teror. Aspek kerentanan itu bisa sangat beragam baik ideologi, ekonomi, politik, maupun psikologis.
Dalam banyak kasus, anak muda sering dikatakan sebagai kelompok rentan terhadap pengaruh terorisme. Riset yang dilakukan Rommel Banlaoi (2004) terhadap kelompok teroris Abu Sayyaf di Filipina, ditemukan fakta bahwa mereka yang tergabung dalam kelompok ini kebanyakan adalah generasi muda dengan tingkat pendidikan sekolah yang rendah atau bahkan buta huruf. Faktor pendidikan dan psikologis dalam kasus ini menjadi variable yang menentukan.
Selain pemuda ternyata kluster terorisme baru juga datang dari golongan perempuan. Hal yang menjadi mafhum, Selama ini pelaku teror identik dan banyak didominasi oleh laki-laki. Maskulinitas aksi teror telah cukup lama nampak pada gerakan terorisme gelombang pertama. Namun, tidak demikian yang terjadi di gelombang kedua atau kelahiran ISIS.
Keterlibatan perempuan dalam panggung kekerasan terorisme bukanlah hal baru. Banyak peran yang dimainkan perempuan dalam jaringan terorisme. R. Kim Cragin and Sara A. Daly (2009) menjelaskan fenomena keterlibatan perempuan dalam aktifitas terorisme tidak hanya sebagai pendukung tetapi juga mempunyai perang penting sebagai aktor dan pemimpin operasi, bahkan pelaku bom bunuh diri. Tugas dan peran mereka pun sangat beragam dari dari sekedar menyiapkan logistik, perekrut, tim propaganda, hingga martir.
Keterlibatan perempuan dalam jejaring teror ini memang mengalami perubahan. Pada mulanya perempuan hanya menduduki posisi sebagai simpatisan biasanya didominasi oleh istri pelaku teror. Keterlibatannya pun semakin naik kelas dengan merambah pada perekrut hingga pelaku. Debbie Affianty dalam tulisannya “Perempuan dalam Kelompok Jihadis dan Terorisme” (2017) misalnya membagi keterlibatan perempuan dalam tiga bentuk: pendamping dan pengikut setia, ahli propaganda dan rekrutmen dan ketiga fighter/bomber. Selama ini, dua peran pengikut dan rekrutmen itulah yang banyak dilakukan perempuan. Namun, tidak disangka perempuan akhir-akhir ini juga telah meningkatkan dirinya menjadi martir.
Membaca Kasus
Menjelang akhir 2016, Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap Dian Yulia Novi di rumah kosnya di Bekasi Barat. Perempuan bercadar itu diduga akan melakukan bom bunuh diri di Istana Kepresidenan. Dian awalnya adalah tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang bersimpati dengan perjuangan Islam di Suriah dan Irak. Dalam pengakuannya ia mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet, khususnya melalui jejaring Facebook dan situs radikal lain, termasuk situs jihad online yang dikelola jejaring Aman Abdurrahman.
Sebenarnya, kasus Dian bukan kali pertama fenomena perempuan dalam jaringan terorisme di Indonesia. Mungkin masih ingat ketika Jumiatun Muslim alias Atun alias Bunga alias Umi Delima, istri Santoso, ditangkap di Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Lalu, deretan panjang pelaku aksi terorisme dari kalangan perempuan menjadi populer. Ika Puspita Sari di Purworejo yang juga mantan PMI ditangkap karena ingin melancarkan aksi bom bunuh diri di luar Jawa.