Islamina.id – Seperti diketahui, Ibn Taimiyah menjalani kehidupan dalam keadaan membujang, tidak menikah hingga akhir hayatnya. Dari sini mungkin kita bisa mengatakan bahwa keadaan tersebut mempengaruhi pandangan Ibn Taimiyah terhadap perempuan.
Di samping itu, era di mana Ibn Taimiyah hidup, menurut para sejarawan, adalah era kemunduran Islam: kemunduran peradaban, politik, pemikiran, dominasi taqlid, menurunnya produktivitas ijtihad, merebaknya tradisi-tradisi usang dan adat-istiadat tak terpuji. Semua ini merupakan ciri khas era Dinasti Mamluk di mana Ibn Taimiyah hidup. Tidak mengherankan jika banyak dari pandangan-pandangannya yang merupakan produk asli dari kebudayaan yang berkembang saat itu.
Berbagai hal yang kita ketahui dari syariat, semisal perintah untuk mewasiatkan kebaikan kepada perempuan, perempuan adalah saudara kandung laki-laki, perintah untuk berbuat baik kepada perempuan serta larangan untuk menzhaliminya, dan apa-apa yang terkait dengan hak dan kewajiban, juga hukum dan tuntunan agama, semua ini sudah jelas tanpa perlu kita sebutkan lagi, yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah dan para ulama yang semasa dengannya maupun sesudahnya.
Apapun yang disebutkan dalam tulisan ini, di luar hal-hal di atas, mengungkapkan pemahaman Ibn Taimiyah secara khusus terhadap perempuan, tak soal apakah sama atau bertolak belakang dengan pendapat para ulama lainnya. Di sini akan dikutip beberapa perkataan Ibn Taimiyah yang menjelaskan bagaimana ia memandang perempuan dan bagaimana ia menggambarkannya.
Ibn Taimiyah memandang bahwa perempuan lebih membutuhkan perlindungan dan perhatian daripada anak kecil. Ia berkata, “Diketahui dari pengalaman bahwa perempuan membutuhkan penjagaan dan perlindungan yang tidak dibutuhkan oleh anak kecil.”[39] Perempuan, menurut Ibn Taimiyah, membutuhkan nasehat dan perwalian (pengampuan) seperti anak kecil, tetapi ia lebih membutuhkan perhatian, perawatan, penjagaan, dan perlindungan. Ibu dari seorang anak kecil, misalnya, lebih memerlukan penjagaan daripada anaknya sendiri yang dirawat dan dididiknya.
Ibn Taimiyah meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan, “Perempuan itu [ibarat] daging di atas meja makan kecuali yang [sengaja] dijaga (tak dimakan).” Ibn Taimiyah mengutip hadits ini tanpa menyebutkan perawinya—bahkan muhaqqiq (editor) kitab “Majmû’ al-Fatâwâ” sendiri mengatakan tidak pernah menemukan hadits seperti ini—, tetapi ia menggunakannya untuk memperkuat pendapatnya.
Karena itu, dalam soal pengasuhan anak, misalnya yang berhubungan dengan ketidaksukaan anak perempuan untuk memilih diasuh oleh salah satu dari kedua orangtuanya yang sudah bercerai, Ibn Taimiyah mengharuskan anak perempuan untuk tinggal bersama salah satu dari keduanya, tidak boleh memilih “kadang dalam beberapa waktu tertentu tinggal bersama ayahnya dan kadang dalam beberapa waktu tertentu tinggal bersama ibunya”. Berbeda dengan anak laki-laki yang boleh memilih salah satu dari kedua orangtuanya atau memilih “kadang dalam beberapa waktu tertentu tinggal bersama ayahnya dan kadang dalam beberapa waktu tertentu tinggal bersama ibunya”. Ibn Taimiyah berkata,
“Adapun anak perempuan (al-bint), jika ia dibolehkan memilih ‘kadang bersama ibunya dan kadang bersama ayahnya’, maka itu akan membuatnya sering keluar mempertontonkan hiasan/kecantikannya, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ayahnya tidak dapat mewakili untuk menjaganya [secara penuh], ibunya tidak dapat mewakili untuk menjaganya [secara penuh]. Secara adat jamak diketahui, bahwa sesuatu yang dijaga manusia secara bergiliran pasti akan hilang.
Di antara contoh yang ada: kemampuan di antara para juru masak (koki) tidaklah sama…ini merupakan perkara yang diketahui berdasarkan pengalaman bahwa perempuan membutuhkan perlindungan dan perhatian yang tidak dibutuhkan anak kecil. Segala hal yang lebih menutupinya dan lebih menjaganya itu lebih baik baginya.”