Pendapat lain yang dikemukakan Ibn Taimiyah terkait perempuan adalah soal kawin anak kecil perempuan (tazwîj al-shaghîrah). Sehubungan dengan anak perempuan berusia 9 tahun meskipun belum mukallaf, misalnya, Ibn Taimiyah berkata,
“Perempuan [dewasa] tidak boleh dikawinkan oleh seorang pun kecuali dengan izinnya, sebagaimana perintah Nabi Saw., jika ia tidak suka, ia tidak boleh dipaksa. Kecuali ‘anak kecil perawan’, ayahnya boleh mengawinkannya [walau] tanpa izinnya. Adapun ‘perempuan janda dewasa’, ia tidak boleh dikawinkan tanpa izinnya, baik oleh ayahnya maupun yang lainnya berdasarkan kesepakatan (ijma’) umat Muslim. Demikian juga ‘perempuan perawan dewasa’, selain ayah dan kakeknya tidak boleh menikahkannya tanpa izinnya berdasarkan kesepakatan umat Muslim. Ayah dan kakeknya, keduanya harus meminta izinnya. Meminta izin ‘perempuan perawan dewasa’ adalah wajib.”
Anak perempuan (al-shaghîrah) yang belum baligh, Ibn Taimiyah berpandangan, sebagaimana tampak jelas di dalam pernyataannya di atas, bahwa sang ayah boleh memaksanya untuk dikawinkan tanpa izinnya. Namun demikian, Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukum asal (al-ashl) mengawinkan anak kecil perempuan, dan bahwa mayoritas ulama memandang boleh mengawinkannya.
Di antara mayoritas ulama tersebut terdapat dua pendapat: sebagian memandang boleh mengawinkannya tanpa izinnya, dan ketika sudah dewasa ia ‘boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’. Sebagian lainnya mengatakan boleh mengawinkannya tetapi harus dengan izinnya, dan ketika sudah dewasa ia ‘tidak boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’. Pendapat yang kedua ini, menurut Ibn Taimiyah adalah pendapat yang sesuai dengan sunnah, yaitu bahwa anak kecil perempuan tidak boleh dikawinkan kecuali dengan izinnya, dan ketika ia dewasa sesudah menikah maka ia ‘tidak boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’—seolah-olah Ibn Taimiyah lebih cenderung membolehkan mengawinkan anak kecil perempuan yang belum baligh dengan syarat harus memperoleh izinnya, dan ketika ia dewasa sesudah kawin maka ia ‘tidak boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’.
Padahal, dalam pernyataannya di atas, Ibn Taimiyah memandang bahwa seorang ayah boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil tanpa perlu meminta izinnya. Dan di tempat lain di dalam kitab “Majmû’ al-Fatâwâ” ia menyebutkan, “Sesungguhnya syariat tidak menetapkan [siapa pun] selain ayah dan kakek boleh memaksa anak kecil perempuan [untuk menikah] berdasarkan kesepatakan umat.”
Jadi, secara prinsip, Ibn Taimiyah memandang boleh mengawinkan anak kecil perempuan, akan tetapi ia harus dikawinkan dengan izinnya—kendati usianya masih sangat belia—, tidak boleh dipaksa kawin berdasarkan petunjuk sunnah, dan ketika ia dewasa sesudah kawin maka ia ‘tidak boleh memilih untuk tetap bersama atau berpisah’. Hanya saja, dalam beberapa pernyataannya, Ibn Taimiyah jelas-jelas membolehkan ayah dan kakek memaksa anak kecil perempuan untuk kawin. Dalam persoalan ini Ibn Taimiyah tampak masih ragu-ragu.
Dan Ibn Taimiyah, meskipun memandang boleh mengawinkan anak kecil perempuan, tetapi ia bisa dibilang ‘agak longgar’ terkait pandangannya soal perempuan perawan dewasa. Ia mengatakan bahwa perempuan perawan dewasa harus dimintai izinnya, tidak boleh dipaksa untuk kawin dengan lelaki yang tak dicintainya,
“Adapun mengawinkan perempuan perawan dewasa sedang ia tidak menginginkannya, maka itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan rasionalitas akal. Allah tidak menetapkan (membolehkan) bagi walinya untuk memaksanya melakukan penjualan atau penyewaan tanpa izinnya, juga mengkonsumsi makanan atau minuman atau memakai pakaian yang tidak disukainya, lantas bagaimana walinya itu boleh memaksanya untuk bersenggama dan bersetubuh dengan lelaki yang tak disukainya?! Allah telah menciptakan di antara dua pasangan cinta dan kasih sayang…”