IBNU RUSYD – Dunia Islam belahan Barat yang sama sekali tidak terancam oleh perseteruan antar agama dan aliran menjadikan akidah para sahabat mengakar begitu kokoh. Pada waktu itu, larangan mempelajari ilmu kalam semata-mata hanya strategi negara demi memperlihatkan kedigdayaan eksistensinya di hadapan negara-negara lain yang sedang tenggelam dalam permasalahan ilmu kalam.
Ibnu Rusyd dalam kapasitasnya sebagai filsuf dinasti Muwahhidin pada akhirnya diminta memberikan kontribusi baru yang mampu membungkam segala bentuk pemikiran yang berkembang di negara-negara lain. Dua karya besarnya, “al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah” dan “Fashl al-Maqâl”, merupakan kontribusi paling nyata terhadap penguasa saat itu.
Dari penamaannya saja, “al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah”, kita bisa melihat betapa kitab tersebut sengaja ditulis untuk menghajar kitab “al-Irsyâd” karangan al-Juwaini yang ketika itu menjadi simbol legitimasi bagi pemikiran Asy’ariyah. Penamaan tersebut mengisyaratkan adanya upaya pelucutan terhadap segala bentuk bid’ah yang dilakukan oleh para ahli kalam (Mutakallimin), sekaligus memberikan format baru bagi akidah yang mesti dipegang oleh masyarakat.
Dengan kitab tersebut Ibnu Rusyd berusaha memurnikan akidah Islam dari “bid’ah” para ahli kalam yang selalu mengedepankan apologi tanpa berpijak pada argumentasi demonstratif. Metode yang mereka gunakan dalam membangun akidah Islam, yaitu qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid, tidak bisa diaplikasikan untuk memahami “alam” Tuhan. Alam Tuhan yang tak terbatas tidak bisa disamakan dengan alam nyata yang terbatas. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda.
Penyepadanan keduanya berarti menyamakan dua sisi yang berbeda. Penyepadanan hanya bisa dilakukan pada dua hal yang memiliki kesamaan, atau dua hal yang berbeda tapi masih memiliki sisi-sisi kesamaan. Menyepadankan alam Tuhan dengan alam nyata tak ubahnya seperti menyepadankan Tuhan dengan makhluk-Nya. Dengan kata lain, metode tersebut merupakan bumerang dalam memahami akidah Islam itu sendiri; terlebih karena metode semacam itu tidak pernah digunakan oleh para sahabat maupun Nabi SAW.
Dari itu, pengkafiran para ahli kalam terhadap filsafat terkait dengan keabadian alam dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (juz`iyyât) merupakan konsekuensi logis dari penggunaan metode yang salah.
Dengan metode tersebut para ahli kalam bahkan melakukan pentakwilan secara membabi buta terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Parahnya, mereka justru mempublikasikan pentakwilan tersebut kepada masyarakat, dengan dalih sebagai doktrin agama yang harus dijalankan oleh semua orang. Mereka mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran dengan mengkafirkan pemikiran yang berseberangan. Muncullah klaim-klaim kebenaran dalam setiap aliran, yang pada tahapan selanjutnya menjadi penyebab timbulnya perpecahan dalam diri umat Islam. Alih-alih membawa perbaikan dalam masyarakat, mereka malah menanam benih-benih perpecahan.
Makna tekstual al-Qur`an lebih mampu dicerna oleh akal, dan lebih dekat dengan argumentasi demonstratif para filsuf, daripada takwil para ahli kalam. Argumentasi demonstratif para filsuf lebih seiring dengan pemahaman al-Qur`an secara tekstual. Apa yang dipahami para sahabat dan al-salaf al-shâlih lebih argumentatif dan lebih dekat dengan teori ilmiyah dari pada pemikiran para ahli kalam. Lebih-lebih dalam mengukuhkan konstruk akidah mereka terkadang melabrak aksioma nalar manusia; seperti pengingkaran kausalitas dan teori atom. Dapat dibayangkan betapa jauh perbedaan antara para ahli kalam dan para filsuf dalam hal metode, terutama menyangkut masalah-masalah ketuhanan (ilâhiyyât).
Para ahli kalam meyakini kaidah-kaidah keimanan, mengakui kebenarannya, kemudian mereka membentuk dalil-dalil rasional untuk menjustifikasinya; sedangkan para filsuf mengkaji permasalahan secara murni, artinya bahwa nalar-nalar mereka sama sekali tidak dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan. Mereka memulai pencarian dengan menunggu sesuatu yang dapat diargumentasikan, melangkah setapak demi setapak hingga mencapai hasil yang kemudian mereka yakini; inilah tujuan filsafat sekaligus pijakan di dalamnya.
Memang tidak mungkin melepaskan diri dari adat, lingkungan dan keyakinan secara paripurna; para filsuf Yunani banyak dipengaruhi oleh agama paganisme, para filsuf Kristen dipengaruhi oleh agama Kristen, dan para filsuf Muslim dipengaruhi oleh Islam, tetapi—bagaimanapun—itulah metode pencarian serta pijakan mereka dalam mengkaji permasalahan sebagaimana ditunjukkan oleh bukti-bukti argumentatif, sedangkan metode para ahli kalam adalah membangun argumentasi setelah mengimani kaidah-kaidah dasar dalam Islam.
Posisi para ahli kalam seperti seorang “pengacara tulus” yang meyakini kebenaran suatu masalah lalu membelanya, membuat bukti-bukti yang dapat memperkuat apa yang diyakininya. Sementara para filsuf dapat diposisikan seperti seorang “hakim adil” yang kepada mereka diajukan suatu permasalahan. Mereka tidak memberikan pendapat kecuali setelah mendengar alasan-alasan dari para terdakwa, menimbang-nimbangnya secara cermat dan tak berpihak, kemudian memberikan pendapat, dan keluarlah kebijaksanaannya.
Para ahli kalam lebih bersikap membela keyakinannya (akidah), mereka menyerang pendapat-pendapat para musuh, baik dari kaum Muslimin atau tidak, mereka banyak menyebut pendapat-pendapat yang bertentangan dan membantahnya; sedangkan para filsuf lebih kepada penentuan kebenaran-kebenaran, atau paling tidak apa yang mereka yakini sebagai kebenaran, mereka membuktikannya tanpa banyak masuk dalam penyebutan pendapat-pendapat yang bertentangan untuk kemudian balik menyerangnya.
Tersebab perbedaan metode itulah antara para ahli kalam dan para filsuf, dalam sejarah Islam, kadang terjadi pertentangan, seperti pertentangan antara Ibnu Rusyd dan para ahli kalam, dan antara al-Ghazali dan para filsuf.