Pengingkaran Ibnu Rusyd terhadap takwil para ahli kalam merupakan bukti nyata adanya pertentangan tersebut. Namun perlu diingat, Ibnu Rusyd sama sekali tidak menolak penggunaan takwil dalam memahami akidah Islam. Takwil merupakan keharusan yang mesti dilakukan dalam memahami redaksi al-Qur`an. Penggunaan takwil harus didasarkan pada argumentasi demonstratif, tidak seperti takwil para ahli kalam yang kental dengan aroma apologetik. Takwil merupakan salah satu cara dalam menghilangkan perbedaan antara agama dengan filsafat.
Dengan takwil perseteruan akal dengan teks agama akan terselesaikan. Keharusan penggunaan takwil disebabkan oleh karakteristik redaksi teks itu sendiri. Teks agama tidak hanya ditujukan kepada sekelompok orang, akan tetapi kepada segenap lapisan masyarakat; masyarakat awam, kaum intelektual menengah, dan para ulama. Retorika yang digunakan dalam menyampaikan kebenaran adakalanya berupa perumpamaan, apologi, perdebatan, juga adakalanya berupa argumentasi demonstratif.
Maka, apabila terjadi benturan antara teks agama dan kebenaran yang telah ditemukan melalui argumentasi demonstratif, maka teks agama harus ditakwil, sebab pemahaman terhadap teks al-Qur`an harus didahului oleh pemahaman terhadap alam. Apabila pemahaman terhadap alam harus melalui argumentasi demonstratif, maka pemahaman terhadap teks agama harus dilandaskan pula pada pijakan yang sama.
Penggunaan takwil dalam pemikiran Ibnu Rusyd mempunyai aturan-aturan tersendiri. Takwil merupakan permasalahan sosial dan keagamaan. Takwil tidak boleh dipublikasikan kepada masyarakat umum.
Memahami akidah dalam al-Qur`an secara tekstual lebih bisa diterima masyarakat umum ketimbang menawarkan sebuah takwil. Larangan tersebut disebabkan oleh karakteristik takwil itu sendiri.
Takwil merupakan masalah ijtihâdiyyah yang sangat rentan perbedaan di antara para muawwil (orang yang melakukan takwil). Takwil hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu memahaminya; al-râsikhûn fî al-‘ilm. Mempublikasikan takwil yang berbeda-beda dan bertentangan satu sama lain akan mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat, sekaligus pelecehan terhadap syariat dan kemanusiaan; kiranya inilah faktor pemicu munculnya pengkafiran antar aliran dalam Islam.
Dalam pandangan Ibnu Rusyd, ayat-ayat al-Qur`an tak ubahnya seperti alam natural (al-‘âlam al-thabî’îy). Dalam alam natural, apa yang diterima oleh panca indra tidak sepenuhnya berupa kebenaran mutlak; adakalanya tidak seiring dengan pembuktian ilmiyah. Dalam konteks ini, kebenaran yang harus diterima oleh seseorang yang mampu melakukan pembuktian tersebut adalah informasi yang diperoleh melalui argumentasi demonstratif, bukan informasi yang telah diberikan secara langsung oleh panca indra. Sebab informasi yang diberikan panca indera terkadang menyesatkan dan menyeret kita pada sebuah kemungkaran.
Kendati demikian, mempublikasikan informasi yang diperoleh melalui argumentasi demonstratif kepada masyarakat umum merupakan sesuatu yang menyalahi etika intelektual. Masyarakat umum tidak mampu mencerna argumentasi demonstratif dengan baik. Argumentasi demonstratif tidak akan membawa kejelasan bagi mereka, justru sebaliknya akan membawa keragu-raguan.
Ketika informasi yang diberikan membawa keraguan, maka tidak akan ada hal yang dapat dipahami masyarakat umum secara benar. Hilanglah segala bentuk keyakinan, baik bersifat sederhana maupun terperinci, tersebab ketidakmampuan mereka menerima argumentasi demonstratif dalam memahami al-Qur`an. Tidak berarti setiap apa yang tidak dijelaskan oleh syariat bisa diselidiki untuk kemudian dipublikasikan kepada masyarakat umum.
Setelah menjelaskan etika pelaksanaan takwil, Ibnu Rusyd dalam mempurifikasi akidah Islam sangat memperhatikan aturan pentakwilan terhadap ayat-ayat al-Qur`an. Takwil menurut Ibnu Rusyd adalah upaya mengeluarkan petunjuk lingual dari dilâlah haqîqiyyah menuju dilâlah majâziyyah. Ini tidak jauh beda dengan takwil dalam aliran Asy’ariyah. Bedanya hanya pada keterkaitan takwil dalam pemikiran Ibnu Rusyd dengan argumentasi demonstratif serta pembagian ruang takwil dalam pemikirannya.
Ibnu Rusyd membagi ayat-ayat al-Qur`an menjadi ayat-ayat yang menerima takwil dan tidak menerima takwil. Ayat-ayat yang tidak menerima takwil hanya berupa landasan aksiomatik yang akan membuat orang yang mengingkarinya menjadi kafir, misalnya, ayat-ayat yang berbicara tentang keimanan kepada Tuhan, hari akhir dan alam akhirat; ayat-ayat seperti ini tidak menerima takwil. Adapun hal-hal yang terkait dengan perspektif masing-masing pemikir akan keberadaan landasan-landasan tersebut masih bisa ditakwilkan.
Maka, mengkafirkan sebuah pemikiran semata karena perbedaan dalam mentakwilkan ayat-ayat al-Qur`an tidak dibenarkan secara ‘aql dan naql. Tidak ada konsensus umum dalam melakukan takwil, juga tidak ada undang-undang yang menjelaskan secara rinci ayat-ayat yang bisa ditakwil dan tidak.
Pula, pengkafiran suatu aliran terhadap aliran lain, serta pengkafiran para ahli kalam terhadap para filsuf yang mengingkari kebangkitan jasad, sungguh tidak dibenarkan oleh agama, karena hal itu lebih merupakan perbedaan takwil belaka. Dalam konteks ini, secara tidak langsung, Ibnu Rusyd telah membuktikan adanya kesatuan hakikat antara agama dan filsafat, sekaligus signifikansi rasionalitas filsafat dalam memahami akidah Islam.[]