Argumentasi tersebut tidak membuatnya mengingkari keberadaan mukjizat dalam Islam, apalagi sampai memaksanya untuk menyatakan sesuatu yang tidak rasional; seperti pengingkaran terhadap kausalitas alam semesta. Kebenaran seorang nabi tidak hanya didasarkan pada mukjizat yang dibawa, melainkan pada muatan risalah yang diemban. Mukjizat hanya sebuah pengukuh terhadap kebenaran sebuah risalah.
Dari itu, pengakuan terhadap mukjizat tidak mengharuskan kita menolak sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang di depan mata. Mengingkari karakteristik di dalam alam semesta sama saja dengan mengingkari sunnatullah. Mengingkari hal tersebut tak ada bedanya dengan mengingkari hikmah ciptaan Tuhan, lebih-lebih jika pengingkaran tersebut membawa pengaruh negatif bagi kemajuan peradaban manusia. Manusia cenderung tidak agresif dalam menemukan rahasia alam semesta. Peran akal menjadi tidak optimal dalam menyikapi setiap permasalahan. Semuanya akan dikembalikan pada kekuasaan dan kehendak Tuhan. Tuhan Maha Berkehendak atas segala hal di muka bumi ini.
Nilai progresivitas pemikiran Ibnu Rusyd terlihat pula dari upayanya menyelesaikan problematika pertentangan antara agama dan filsafat melalui metode takwil. Penggunaan takwil berarti memberikan porsi seluas-luasnya kepada akal manusia untuk menyikapi semua permasalahan yang ada.
Ibnu Rusyd tidak risau bila metode takwil harus diambil dari umat di luar Islam. Ia bahkan mengingatkan keberadaan komplikasi dalam setiap keilmuan; di mana yang datang belakangan mengambil manfaat dari temuan para pendahulunya. Lebih dari itu, ia sangat menghargai adanya perbedaan pendapat. Perbedaan agama tidak menghalangi dirinya mengkaji filsafat Yunani. Ia juga menganjurkan dilakukannya interaksi keilmuan antara Islam dengan agama-agama lain. Kebenaran adalah sesuatu yang harus dicari, namun tidak untuk dimonopoli.[]