Kelebihan lain dari kitab tersebut terletak pada metodologi tasawuf yang ditawarkan. Tidak seperti para filsuf yang mencukupkan diri pada capaian keilmuan, juga tidak seperti para ahli fikih yang mencukupkan diri pada praktek amaliah, al-Ghazali justru berusaha membangun metodologi tasawufnya melalui penyatuan antara ilmu dan amal.
Bagi Imam al-Ghazali, mempelajari ilmu tasawuf harus didahulukan sebelum menceburkan diri ke dalam dunia tasawuf. Ilmu sangat dibutuhkan dalam dunia tasawuf dan lebih utama dari semua ibadah yang dijalankan tanpa ilmu. Ini menandakan bahwa al-Ghazali memasuki dunia tasawuf setelah menguasai ilmunya. Ilmu itu diperolehnya melalui kitab-kitab karya para imam sufi. Al-Ghazali telah mempelajari kitab “Qût al-Qulûb” karya Abu Thalib al-Makki dan “al-Risâlah al-Qusyayrîyyah” karya Imam al-Qusyairi, dll. Kitab-kitab inilah yang banyak mempengaruhi lahirnya kitab “Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn”.
Dengan demikian, ilmu tasawuf sebenarnya hanyalah sebatas pengantar dalam mengarungi samudera spiritualitas. Melalui ilmu tasawuf segala ketentuan dalam menjalani dunia kesufian akan diketahui, juga hal-hal yang semestinya didahulukan dan hal-hal yang seharusnya diakhirkan. Ilmu tasawuf akan memberikan informasi mengenai tata-cara membersihkan hati dari entitas selain Tuhan. Namun, selain penguasaan terhadap ilmu, olah diri juga harus dilakukan dengan banyak berbuat amal kebajikan dan selalu lebur dalam dzikir-dzikir Tuhan agar jiwa menjadi suci.
Apabila itu terjadi, maka akan terwujudlah mukâsyafah dan musyâhadah, yang nantinya akan berujung pada fanâ`. Mukâsyafah, musyâhadah, dan fanâ` hanya bisa terjadi di saat seorang sufi mampu menyatukan zhâhir dan bâthin, syariat dan hakikat, dengan keimanan yang benar kepada Tuhan serta selalu berbuat baik kepada ciptaan-Nya. Jika ia tidak mampu melakukan itu, maka tatanan kesufian di dalam dirinya akan hancur. Sehingga ia tidak bisa menobatkan diri sebagai sufi, sebab ia tidak akan mendapatkan mukâsyafah, musyâhadah, dan fanâ` sebagai anugerah dari Tuhan.[]