Di era abad ke-18, terdapat beberapa jenis literatur yang ditemukan. Literatur-literatur ini dapat diklasifikasikan menjadi lima. Yang pertama, cerita-cerita yang di ambil dari Alquran (Kuranic’s Tales) atau cerita tentang Nabi dan orang lain yang namanya disebut dalam Alquran. Kedua, cerita khusus tentang Nabi Muhammad Saw. Ketiga, cerita tentang orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi Saw (sahabat atau lainnya). Keempat, cerita tentang pahlawan-pahlawan (dalam dunia) Islam yang terkenal. Kelima, karya-karya yang berkaitan dengan masalah teologi.
Menurut Roolvink, kajian ini pada umumnya bermuara pada tiga sendi pokok Islam, atau yang disebut dengan tiga pilar Islam yang terdiri dari ilmu kalam, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf. (Roolvink, t.th.). Tiga sendi pokok Islam ini mengisyaratkan bahwa Islam tidak dipandang sebagai agama yang membawa teologi saja, namun membawa nilai-nilai moral dan eksoteristik.
Tradisi penulisan kitab tentang hadits memang diakui sangatlah minim. Ulama Nusantara lebih memilih bidang keislaman lain, yaitu menulis karya-karya seperti tafsir, fiqih, dan lain-lain (Oman, 2012). Argumen tersebut sesuai dengan adanya fakta bahwa pada masa ini (abad ke-18) ada beberapa tokoh ulama yang menaruh perhatian pada bidang hadits, walaupun belum secara signifikan. Seperti Nuruddin al-Ranírí dan Abdur Ra’úf al-Sinkílí, yang memang dianggap sebagai tokoh utama yang merintis dan mulai memperkenalkan studi hadist pada masa ini, khususnya dalam syarah hadits di Indonesia. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai karya yang sedikit banyak mengulas dan menjelaskan hadis-hadis Nabi.
Dua Ulama dalam Perkembangan Hadits di Nusantara Abad 17-18
Ada dua ulama dalam perkembangan hadits di Nusantara dalam rentang abad 17 dan 18. Dua ulama itu adalah Syekh Nuruddin al-Raniri dan Abdur Ra’uf al-Sinkili. Dua ulama yang produktif pada abad ini.
Nama lengkapnya adalah Nuruddín Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji al-Hamid al Humayd al-Sháfi’í al-Aydarusí al-Raniri. Lahir pada akhir abad ke-16 di Ranir (modern: Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat. Al-Raniri lebih sering dianggap sebagai tokoh sufi dari pada seorang pembaharu (mujaddid). Padahal, dia jelas merupakan salah seorang mujaddid paling penting di Nusantara dalam abad ke-17.
Salah satu kitab yang berjudul Hidáyát al-Habíb fí al-Targhíb wa al-Tartíb merupakan karyanya. Kitab ini merupakan kumpulan hadis yang diterjemahkan al-Raniri dari bahasa Arab ke bahasa Melayu yang disusun dengan tujuan agar Muslim Melayu-Indonesia mampu memahami agama Islam dengan benar. Karena sifatnya yang lebih dominan alih bahasa, maka penjelasan hadits Nabi yang dilakukan oleh al-Raniri masih berkutat pada aspek teks, dengan menguraikan pokok-pokok hadits secara sederhana.