Selanjutnya ialah Abdur Ra’uf al-Sinkílí (w. 1105 H/ 1693 M). Nama lengkapnya adalah Abdur Ra’uf ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili (1024-1105H/1615-1693 M). Berasal dari Fansur, Sinkil (Modern: Singkel), di wilayah pantai barat laut Aceh. Beberapa tempat yang pernah ia singgahi untuk menuntut ilmu adalah Dhuha (Doha) di wilayahTeluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekkah dan Madinah (Hijaz).
Terkait kitab hadits, ada dua karya Syekh Abdur Ra’uf al-Singkili. Yang pertama, berjudul Mawá’iz al-Badi’ah. Karya al-Sinkili tersebut merupakan kumpulan hadis Qudsi yang diadopsi oleh al-Sinkili untuk mengemukakan ajaran hubungan Tuhan dengan ciptaan, neraka, dan surga, dan cara-cara yang layak bagi kaum Muslimin untuk mendapatkan ridha Tuhan.
Kedua, ialah Sharh Latíf ‘ala Arba’ín Hadíthán líI Imaám an-Nawáwi. Kitab tersebut merupakan komentar dan penjelasan al-Sinkili terhadap Kitab Arba’ín karya Imam Nawawi.
Dari pemaparan kitab-kitab hadis yang muncul pada abad ke-17 dan ke-18 diatas terlihat bahwa kecenderungan kajian hadis di Nusantara saat itu mengikuti arus utama ulama ahli hadis (ittijāh jumhuūr ‘ulamá’ al-hadith). Hal ini terlihat dalam metodologi yang dipakai secara umum, yaitu mengikuti kecenderungan mayoritas ulama ahli hadis, baik pada masa klasik maupun modern.
Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa karya di bidang hadis awal yang muncul di Nusantara ialah justru bidang sharh hadis, dari pada karya-karya hadis lain yang bersifat pengantar ilmu hadis. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari tujuan kajian keislaman saat itu yang memang lebih mengarah kepada pembinaan akhlak dan perilaku.
Muhammad ‘Abd al-Razzâq Aswad membagi empat kecenderungan kajian hadis, yaitu kecenderungan mainstream ulama hadis (al-ittijāh jumhuūr ‘ulama’ al-hádith), kecenderungan salafi (al-ittijaāh al-salafí), kecenderungan rasional (al-ittijáh al-‘aqli), dan kecenderungan yang menyimpang (al-ittijáh al-munharif).
Memang, perkembangan hadits pada periode ini dirasa sangat minim. Akan tetapi, patut berterima kasih kepada Syekh Nuruddin al-Raniri dan Syekh Abdur Ra’uf al-Sinkili. Keduanya ulama yang cukup disegani dan produktif.