Meski memiliki banyak kelebihan, pembelajaran dengan sistem segregasi gender menurut Uum Humairoh (2020) juga memiliki banyak kekurangan. Kekurangannya adalah sekolah harus mengeluarkan banyak dana (lokal), kelas menjadi kotor dan tidak rapi apabila dikelola oleh peserta didik putra, guru perempuan sulit mengelola dan mengkondisikan kelas putra, karena ekstra tenaga dan ekstra suara, terbentuk rasa canggung dengan lawan jenis, dan sulit bersosialisasi. Sistem segregasi gender juga membuat peserta didik laki-laki tidak ragu-ragu dalam melanggar beberapa peraturan saat jam pembelajaran. Perbandingan hasil belajar ranah kognitif menunjukkan rata-rata nilai rapot laki-laki di bawah nilai perempuan (Muhammad Toriq, 2017).
Selain itu, pembelajaran dengan model segregasi gender membutuhkan usaha yang tidak mudah dalam pelaksanaanya. Tidak mengherankan kemudian kebanyakan institusi atau lembaga pendidikan saat ini (termasuk lembaga pendidikan Islam?) menerapkan kebijakan belajar mengajar tanpa memisahkan peserta didik (kelas) berdasar jenis kelamin tertentu, hanya sebagian kecil saja yang menerapkan kebijakan segregasi gender dalam kegiatan belajar mengajarnya (KBM).
Bahkan, hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Myra Pendleton menunjukan bahwa pembelajaran dengan sistem tunggal gender tidak terlalu berpengaruh pada perilaku peserta didik. Jika sistem tunggal gender tidak memberikan efek perubahan perilaku peserta didik, maka sistem tunggal gender tidak bisa diharapkan meningkatkan prestasi peserta didik (Myra Pendleton, 2015).
Pengarusutamaan Gender
Dari segi output pendidikan, pola segregasi maupun non-segregasi, keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sedangkan dari segi fikih, menerapkan pola segregasi gender dalam pembelajaran dapat lebih menjaga diri dari terjatuh pada keharaman. Tetapi lembaga yang menerapkan non-segregasi atau kelas heterogen dalam pembelajaran juga tidak masalah selagi bisa menjaga kaidah dan aturan syariat jangan sampai ada yang dilanggar.
Menerapkan segregasi maupun non-segregasi, yang terpenting dan seharusnya dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam adalah melakukan pengarusutamaan gender. Hal ini agar seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan kegiatan di seluruh sektor lembaga pendidikan Islam telah benar-benar memperhitungkan dimensi atau aspek gender, yaitu peserta didik laki-laki dan perempuan yang setara dalam akses, partisipasi dan kontrol atas pendidikan serta dalam memanfaatkan hasil pendidikan.
Maka sebelum melakukan pengarusutamaan gender, analisis gender merupakan tahap awal yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam. Analisis gender dilakukan dengan mengkaji perbedaan dampak proses pendidikan terhadap peserta didik perempuan dan laki-laki. Untuk melakukan analisis gender, tentu diperlukan alat analisis (tool) yang dapat membantu secara mudah dan efektif mengidentifikasi isu-isu gender dan merekomendasikan solusinya.
Salah satu alat analisis yang dapat digunakan adalah Gender Analysis Pathaway (GAP). GAP bisa dijadikan sebagai instrumen analisis gender yang berfungsi untuk menganalisis kebijakan, program, kegiatan lembaga pendidikan Islam dengan menggunakan perspektif gender. Dalam hal ini, analisis bertujuan untuk merumuskan indikator-indikator yang dapat mengatasi kesenjangan gender dalam akses, partisipasi, kendali/kontrol, dan manfaat pendidikan.
Berdasarkan indikator GAP, terdapat empat tahapan evaluasi manajemen segregasi gender peserta didik, yaitu analisis kebijakan, reformulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan tahap terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Pada tahap analisis kebijakan, data dan informasi yang ada di lapangan dikumpulkan. Khususnya dalam perumusan kebijakan terkait manajemen peserta didik dengan perbandingan laki-laki dan perempuan. Dari sana akan tampak beberapa kebijakan pemberlakukan segregasi gender antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan kesenjangan gender maupun tidak.
Pada tahap reformulasi kebijakan, lembaga pendidikan Islam dapat memanfaatkan agenda rapat rutin sebagai sarana untuk mengevaluasi beberapa kebijakan apakah sudah setara gender atau perlu dievaluasi ulang. Sedangkan pada tahap pelaksanaan kebijakan, misalnya pada proses pembelajaran dan kebijakan terkait tata tertib peserta didik apakah sudah responsif gender atau belum. Lalu pada tahap akhir yaitu tahap monitoring dan evaluasi, segala kebijakan dan pelaksanaan dipantau dan dievaluasi jika terdapat kendala atau masalah yang ditemui terkait pengarusutamaan gender.