Kedua, ijtihad orang-orang Wahabi hanya berputar atau berkutat di perkara-perkara receh dan remeh-temeh yang bersifat partikular. Misalnya, tentang hukum perempuan menyetir mobil, hukum memelihara jenggot, hukum ziarah kubur, hukum bertawassul, hukum menggunakan tasbih dalam berdzikir, dan lain sebagainya.
Menurut Kiai Moqsith, para ulama Wahabi mungkin menyangka bahwa ziarah kubur, bercelana cingkrang, dan bertawassul adalah termasuk salah satu masalah pokok dalam Islam. Padahal, jelas soal-soal seperti hal ihwal masuk ke dalam kategori masa’il khilafiyah yang tidak akan pernah berhasil bahkan sulit untuk disepakati oleh seluruh umat Islam.
Karena itulah, sekarang adalah saat yang tepat bagi orang-orang Wahabi untuk berpikir atau berijtihad tentang soal-soal kemasyarakatan yang lebih penting dan mendesak. Mengingat, persoalan yang dihadapi umat manusia semakin kompleks. Misalnya, tentang Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, kemiskinan, dan problem lain yang menimpa umat.
Ketiga, kelompok Wahabi cenderung tidak memanusiakan kaum perempuan. Perempuan acapkali dianggap sebagai manusia tak sempurna; separuhnya adalah manusia dan separuhnya yang lain adalah setan yang mengganggu keimanan kaum laki-laki. Cara pandang demikian menyebabkan orang-orang Wahabi memiliki kecenderungan untuk memarginalisasikan perempuan. Dehumanisasi terhadap perempuan berlangsung di berbagai sisi kehidupan.
Di lingkungan keluarga Wahabi, perempuan sejak dulu kerap diposisikan sebagai objek ketimbang subjek. Bahkan, perempuan tak pernah diberi ruang dalam mengambil keputusan. Bukan hanya di ruang publik, melainkan juga di ruang domestik seperti keluarga. Pun, mereka dilarang untuk mencari nafkah kendati untuk menanggulangi beban perekonomian keluarga yang tak mungkin lagi bisa diatasi oleh para suami.
Akibatnya, ketika laki-laki tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, maka tubuh perempuanlah yang mesti ditutup rapat-rapat. Batas-batas aurat perempuan dibuat sangat kaku dan seakan-akan sengaja diciptakan untuk menyengsarakan kaum perempuan. Ini berarti, ruang gerak perempuan terus dibatasi. Ia tidak diperbolehkan memegang jabatan publik; sebagai hakim apalagi kepala negara. Bahkan, tak pernah ada ulama dari kalangan perempuan yang terlahir di lingkungan Wahabi.
Dari sini, jelas bahwa penolakan terhadap Wahabisme bukan tanpa dasar dan argumen yang kebablasan. Selain hal yang disebutkan di atas, mereka juga kerap membuat kegaduhan serta meresahkan dalam mengampanyekan doktrinnya melalui argumen takfiri, sesat-menyesatkan, bid’ah, dan lain-lain terhadap sesama umat Islam. Karena itu, tidak mengherankan, jika Wahabisme dikategorikan kepada kelompok gerakan Islam radikal-ekstremis. Mengingat, sepak terjangnya acap bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.
Sementara itu, Wahabisme juga bukanlah termasuk bagian dari aliran yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sebagaimana dinyatakan dan disepakati oleh seluruh ulama di dunia pada Muktamar Internasional Muslim atau Muktamar Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yang diselenggarakan di Grozny, ibu kota Republik Chechnya pada tahun 2016 lalu, dengan mengusung tema Siapakah Ahlus Sunnah Wal Jamaah? Wallahu A’lam
Baca Juga: Hati-Hati, Kenali Gejala Wahabisme di Sekitar Kita