Tulisan pertama dari tiga tulisan
Perdebatan di kalangan umat tentang apakah Islam menyokong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, serta kebhinekaan masih sering mengemuka. Sebagian kelompok secara tegas menolak kehadiran NKRI dan Pancasila, sebagian lainnya memberikan dukungan penuh. Argumen dari masing-masing kelompok sama-sama bersumber dari rujukan utama dalam Islam, yaitu al-Qur’an, Hadist ditambah dengan catatan sejarah Islam, terutama era khulafaurrasyidin. Lalu, bagaimana yang sebenarnya?
Pendahuluan
Bagi sebagian umat Islam, bentuk Negara Indonesia apakah menjadi Negara agama ataukah Negara non-agama masih belum sepenuhnya final. Beberapa kelompok Muslim belum menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tetap memperjuangkan penegakan idealitas sistem politiknya, yakni mendirikan negara Islam seperti yang diperjuangkan oleh Forum Aktivitas Syariat Islam (Faksi)—yang melakukan baiat kepada Islamic State of Iraq and Syiria(ISIS)–, Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), serta beberapa organisasi sejenis. Umat Islam yang terhimpun dalam organisasi-organisasi tersebut meyakini bahwa Indonesia harus mengganti dasar Pancasila dengan berdasarkan sistem khalifah Islam.
Namun, bagi sebagian besar umat Islam lainnya seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Ijabi dan Mathla’ul Anwar Menes, bentuk NKRI dengan asas Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika adalah sudah final dan ideal untuk mewadahi keragaman bangsa Indonesia ini. Terlebih, organisasi-organisasi ini meyakini bahwa NKRI, dan UUD 1945 sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Sebaliknya, Islam baik yang termaktub dalam ayat al-Qur’an maupun hadist justru memerintahkan umatnya untuk mencintai tanah airnya (nasionalisme), dan sila-sila yang terkandung dalam Pancasila mendapat justifikasi dari al-Qur’an seperti sila pertama yang berarti tauhid.
Tulisan ini akan mengelaborasi bagaimana 1) pandangan Islam tentang nasionalisme dan Pancasila, 2) NKRI dan UUD 1945, 3) Kebhinekaan dan kewarganegaraan, dan 4) Demokrasi. Tentu saja, sebagai disclaimer, tulisan ini bukan untuk meringkus ragam pemikiran dalam Islam soal subtopik di atas, melainkan sekurang-kurangnya melakukan pembacaan terhadap teks-teks Islam yang diyakini oleh jamak umat Islam Indonesia.
NKRI Sebagai Negara Islami
Secara teoritis, Munawir Sjadzali (1993), membagi paradigma hubungan Islam dan negara ke dalam tiga bagian: Pertama, Kelompok ini memandang karena Islam memiliki watak yang holistik dan karena Islam adalah agama mayoritas bangsa Indonesia, maka Islam harus menjadi dasar negara. Islam adalah din wa dawlah (Musa, 1963). Tokoh yang sangat populer dalam kelompok ini adalah Sayyid Quthb (1967), Abu ‘a’la al-Maududi, Hasan Turabi (1983) dan tokoh-tokoh Islam lainnya.
Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa Islam harus terpisah dari negara (politik) dan Muhammad bukan sebagai kepala negara, melainkan hanya sebagai pimpinan agama. Karena itulah, memisahkan agama –sebagai urusan privat manusia dengan Tuhannya—dan negara –sebagai wilayah publik yang profan—adalah niscaya. Al-Qur’an bukan kitab tata negara yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan urusan pemerintahan. Bagi kelompok ini, jika Islam tidak dipisahkan dari negara maka politisasi Islam akan terjadi, bahkan mendistorsi itu sendiri. Tokoh yang sangat terkenal dalam aliran ini adalah Ali Abd. Raziq (1966) dan Muhammad Sa’id al-Asymawi (1990).
Ketiga, aliran yang beranggapan bahwa Islam harus tampil dalam setiap kehidupan, tetapi tidak secara legal dan formal. Artinya, dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi ia hanya menyediakan seperangkat nilai, moral, etika bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai dan etika dalam Islam harus diimplementasikan oleh segenap muslim dalam setiap kehidupan, bukan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kelompok ini cenderung menafsirkan watak holistik Islam secara subtansialistik. Hal ini dalam pengertian bahwa Islam tidak harus dibangun dalam pola yang legal dan formal, tetapi subtansi dan esensi dari Islam harus tetap hadir. Para pendukung pemikiran ini, di antaranya adalah Mohamad Husayn Haykal (1993), Fazlurrahman (1982) dan sejumlah pemikir lainnya.
Jika kita mau jujur untuk membuka kembali lembaran-lembaran al-Qur’an, tidak ada teks yang secara tegas memerintah umat Islam untuk mendirikan negara Islam. Ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali menjadi dalil keharusan untuk mendirikan negara Islam adalah Surat Al-Maidah ayat 44, 45, 46, 47 dan 48 sebagai berikut:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُون (44) وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45) وَقَفَّيْنَا عَلَى آثَارِهِمْ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَآتَيْنَاهُ الإنْجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (46)وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الإنْجِيلِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ(47) وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(48)
Artinya:
44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
45. Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. 5:45)
46. Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu : Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertaqwa. (QS. 5:46)