47. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik (QS. 5:47).
48. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (QS. 5:48)
Kecuali ayat 46 dan 48, semua ayat-ayat di atas memuat kalimat sama kecuali pada ujungnya, yakni:
Ayat tersebut memerintahkan kepada segenap umat Islam untuk memberlakukan hukum yang telah diturunkan oleh Allah. Terhadap hal ini ada dua pertanyaan mendasar; apakah memberlakukan hukum Allah itu harus melalui pendirian negara Islam? Apakah Allah menurunkan hukumnya hanya bernama Islam atau al-Qur’an?
Jika kita membaca secara utuh Surat al-Maidah ayat 44 sampai 48 tersebut maka tampak hukum-hukum Allah termuat dalam kitab Taurat dan Injil serta al-Qur’an. Jika pada ayat 44 dan 45 berbicara bagaimana keharusan menegakkan hukum-hukum Allah yang ada dalam Taurat, maka pada ayat 46 Nabi Isa memberikan pembenaran terhadap hukum-hukum Taurat tersebut. Sementara ayat 48 berbicara bahwa al-Qur’an yang membenarkan kitab-kitab terdahulu; yakni Taurat dan Injil. Dari sini nampak jelas bahwa penegakan hukum Allah pada ayat-ayat tersebut tidak semata-mata penegakan hukum Taurat dan Injil tetapi juga penegakan hukum al-Qur’an. Karena pada prinsipnya, hukum-hukum Allah tersebut tidak bertentangan satu sama lain. Ini bisa dibaca pada penggunaan kata الْكِتَابِ (dalam bentuk tunggal, bukan kutub dalam bentuk jamak) pada ayat 48, yang bermakna bahwa hukum-hukum tersebut sama dan bersumber tunggal, yakni Allah.
Terlebih, jika kita merujuk sebab turunnya ayat tersebut (asbab nuzul). Dalam Tafsir Ibn Katsir—sebagaimana juga banyak diriwayatkan dalam sejumlah hadist—disebutkan bahwa ayat ini turun terkait dengan konteks di mana orang Yahudi mengubah hukum Allah yang termaktub dalam kitab Taurat perihal hukuman terhadap pelaku zina yang antara lain hukum rajam bagi pezina muhsan. Mereka mengubahnya menjadi pukulan seratus kali dan mencoreng mukanya dengan arang, dan dinaikkan ke atas keledai secara terbalik untuk dibawah ke sekeliling kota. Karena mengubah hukum Allah tersebut, terjadilah perselisihan di antara mereka. Kemudian, mereka hendak bertanya kepada nabi dengan tujuan tertentu; yakni jika nabi Muhammad memberikan keputusan hukuman yang sama maka harus dijadikan hujjah (dalil), namun jika nabi memutuskan rajam maka keputusan nabi tersebut harus ditolak. Menghadapi ini, sahabat nabi Abdullah Ibn Salam mengambil dan membuka kitab Taurat bagian ayat rajam. Atas kejadian ini, turunlah ayat-ayat di atas sebagai peringatan agar tetap mematuhi perintah dan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah yang ada dalam kitab Taurat, Injil maupun al-Qur’an.
Lalu, siapa yang harus menegakkan syariat Allah tersebut? Apakah harus melalui pembentukan negara Islam? Sebagai umat Islam, tentu wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakan seluruh perintah Allah sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an. Tak ada yang dapat membantah bahwa setiap Muslim wajib melaksanakan shalat, berpuasa, membayar zakat dan berhaji jika mampu. Begitu juga, setiap muslim wajib melakukan dan menasehati kebaikan dan menolak kejahatan (amar ma’ruf nahi munkar). Karena pada pokoknya syariah adalah cara hidup Islam yang ditetapkan berdasarkan wahyu Ilahi”. Jadi, ia tidak hanya mencakup persoalan-persoalan legal dan jurisprudensial, tapi juga praktik-praktik ibadah ritual, teologi, etik dan juga kesehatan personal dan tatakrama yang baik (An-Na’im, 1993).
Bahkan, Indonesia sebagai negara juga telah menerbitkan Undang-Undang terhadap ajaran-ajaran pokok Islam seperti UU Perkawinan, UU Zakat, UU Haji, dan Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi, sebagian umat Islam menganggap bahwa penegakan syariat harus melalui jalur negara seperti penerbitan sejumlah peraturan daerah dan bahkan hendak mendirikan negara Islam. Pertanyaan penulis, apakah perintah Allah dirasa kurang cukup kuat sehingga perlu bantuan manusia dalam hal ini negara untuk menegakkan syariat Allah? Bukankah perintah tertinggi dan termulia karena tidak dikotori oleh beragam kepentingan datangnya dari Allah?
Sesungguhnya, diskursus apakah Indonesia menjadi negara berasaskan (syariat) Islam ataukah Pancasila adalah perdebatan klasik yang sampai hari ini masih sering dihidupkan kembali. Kelompok yang pro NKRI dengan berasaskan Pancasila dan yang kontra masing-masing membangun argumentasinya. Bagi yang kontra, Indonesia harus menjadi negara dengan sistem khilafah Islam dengan alasan teologis dan sosiologis. Secara teologis, kelompok menganggap bahwa mendirikan negara Islam diperintahkan oleh Allah sebagai wadah untuk menjalankan syariat islam dengan bertopang pada dalil-dalil al-Qur’an di atas (QS. Al-Maidah 44-48) dan juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad di Madinah. Secara sosiologis, karena Islam adalah agama yang secara mayoritas dianut oleh bangsa Indonesia, maka Indonesia harus menjadi negara Islam dengan sistem khilafah dan menerapkan syariat Islam secara legal-formal.
Belakangan ini, kelompok-kelompok yang kontra NKRI dan Pancasila ini tidak semata-mata berlandaskan pada dua alasan di atas, melainkan juga lebih kepada alasan ideologis dan transnasional. Di tangan mereka, Islam sebagai syariah (jalan) diubah menjadi ideologi politik, yang dampaknya adalah pemahaman yang berbeda dengan mereka akan dengan mudah dituduh bertentangan dengan Islam (Wahid, 2009). Gerakan-gerakan kontra NKRI dan Pancasila ini banyak disusupi dan dimotori oleh Wahabi dan Ikhwanul Muslimin. Kehadiran organisasi semacam Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), dan Hizbut Tahrir Indonesia di Indonesia yang turut menolak NKRI dan Pancasila mempertegas bahwa ideologi yang mereka impor dari Timur Tengah bertentangan dengan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Namun—demikian Gus Dur (Wahid, 2009) mencatat—selalu ada mayoritas bangsa Indonesia yang setuju dan tetap menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila. Sikap organisasi-organisasi masyarakat (ormas) seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Ijabi serta partai politik yang berhaluan kebangsaan yang menyatakan bahwa NKRI yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai bentuk final dan konsensus nasional, adalah kesadaran sejati yang didasarkan pada realitas historis, budaya, dan tradisi bangsa serta subtansi ajaran agama.
Ormas-ormas moderat yang memiliki kontribusi besar terhadap pembentukan dan pembangunan bangsa tersebut memiliki argumen yang tidak mudah dibantah. NU, misalnya, melalui Mukmatar di Banjarmasin pad atahun 1935 telah memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam melainkan mengajak umat Islam untuk mengamalkan ajaran-ajarannya sehingga terbentuk masyarakat yang islami, dan sekaligus membolehkan pendirian negara bangsa (Wahid, 2009). Begitu pula dengan Muhammadiyah yang sedari awal terlibat dalam pergerakan kemerdekaan menegaskan pendiriannya terhadap negara Pancasila yang maju, adil, makmur, bermartabat dan berdaulat dalam lindungan Allah SWT (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2015). Keterlibatan tokoh Ahmadiyah seperti H. Ahmad Djoyo Sugito dalam proses kemerdekaan RI juga menjadi bukti bahwa ormas ini mendorong lahirnya NKRI. Penelitian Reslawati (2016) di Jawa Barat dan Banten terhadap Persis dan Ijabi menyimpulkan bahwa kedua ormas tersebut Pancasila merupakan dasar negara yang ideal saat ini dan NKRI sudah final dan tidak akan diganti dengan yang lainnya. Bahkan, kedua ormas ini menentang paham dan gerakan-gerakan yang hendak mengganti negara Pancasila ini.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh ormas-ormas tersebut tak semata-mata argumen sosiologis dan politik melainkan juga agama. Secara sosiologis dan politik, bangsa Indonesia sangat beragam baik dari sisi agama, etnis dan bahasa. Karena itu, masing-masing kebhinekaan tersebut tidak bisa dijadikan payung yang dapat menampung kepelbagaian tersebut, sehingga membutuhkan payung yang dapat mengakomodir keragaman tersebut, yang belakangan bernama Pancasila. Maka dirumuskanlah nilai-nilai yang dapat memayungi seluruh keragaman tersebut. Sebagai bangsa yang sejak awal taat terhadap aturan-aturan agama, maka konsep kebangsaan yang dirumuskan para pendiri bangsa tersebut merupakan nukilan dari tradisi, budaya dan agama leluhur. Alih-alih bertentangan, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merefleksikan pesan-pesan utama semua agama yang dalam ajaran Islam di kenal dengan maqashid al-syariah, yakni kemashlahatan umum (al-mashlahat al-ammah, the common good).
Secara teologis, Allah memang menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku sebagaimana yang terekam dalam surat al-hujarat ayat 13 dengan tujuan saling mengenal (ta’arfaru). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka masing-masing bangsa perlu menghimpun diri ke dalam perkumpulan bangsa-bangsa yang dapat disebut sebagai negara. Dalam catatan sejarah, di Madinah nabi Muhammad bukan saja pemimpin atas komunitas Islam tetapi juga komunitas-komunitas agama lain yang oleh sebagian orang disebut sebagai negara Madinah ( (Khan, 2002) atau negara Quraisy (Karim, 2005). Muhammad adalah pendiri riil (al-mu’assis al-fi’li) negara yang dibangun dengan (topangan) pedang-pedang Bani Qailah (Aus) dan Khazraj. Dengan kata lain, Muhammad tidak saja tampil sebagai pembawa agama, tetapi menurut Karim juga sebagai pendiri sebuah negara yang belakangan mampu menguasai tata dunia global selama berabad-abad. Tetapi, yang perlu dicatat adalah bahwa masuknya kabilah-kabilah di Madinah bukan karena Islam sebagai agama, tetapi semata-mata keberadaan negara Quraisy yang mulai tampak berdiri. Keberadaan negara Quraisy (Madinah) cukup efektif untuk menekan bahkan memaksa kabilah-kabilah dan negara-negara disekitarnya untuk masuk agama Muhammad. Negara Romawi, Sasanid, dan Bahrain dikirimi surat oleh Nabi yang berbunyi: Tunduk dengan masuk Islam, tetap non-muslim dengan membayar jizyah, atau akan diserang (Karim, 2005).Singkatnya, memang Indonesia bukanlah negara agama melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Namun demikian, jika kita mengamati nilai-nilai yang terkandung dalam konsep kebangsaan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 sangat nyata bahwa Indonesia adalah negara islami, dalam pengertian nilai-nilai Islam menjadi spirit dan dasar dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Bersambung….