Perdefinisi dalam kamus besar bahasa Indonesia dikatakan bahwa pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi. Atau, bahan bacaan yang sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.
Kalau mengikuti nalar dari pengertian pornografi di atas, maka berbagai tulisan yang dirancang bukan dalam kerangka untuk membangkitkan nafsu birahi seseorang tidak serta merta dapat dimasukkan dalam kategori pornografi. Ini penting. Sebab, kalau setiap tulisan yang berbincang tentang kekelaminan, hubungan seksual antara laki dan perempuan dikategorikan sebagai pornografi, berarti kitab-kitab fikih Islam bahkan juga hadits yang berbicara perkara itu adalah juga buku pornografis. Begitu juga, para kiai pesantren yang membacakan kitab-kitab fikih dan hadits itu adalah pihak yang terlibat dalam penyebaran pornografi.
Buku-buku pornografis itu ibarat pedang bermata dua. Bisa berdampak positif dan bisa juga negatif. Seseorang yang membaca buku-buku seks atau menonton VCD porno yang dimungkinkan dapat memunculkan nafsu seksualnya yang mulai mengendur sehingga yang bersangkutan tidak semangat lagi untuk melakukan aktivitas seksual suami-istri, maka pembacaan buku itu bukan hanya dianjurkan bahkan bisa menjadi keharusan. Dengan pola ini, kemesraan antara suami dan istri yang kemaren renggang dapat rakit dan rajut kembali.
Sebaliknya, buku-buku seks itu dapat berbalik menjadi berisiko negatif di tangan seseorang yang tidak memiliki pasangan yang sah atau anak-anak yang tidak cukup usia.
Kalau begitu apa perlu dibangun sebuah regulasi khusus pornografi? Saya kira sudah waktunya pornografi itu ditampung dalam ruang khusus yang tersembunyi. Ini bukan semata-mata agar pornografi itu tidak diakses oleh orang-orang yang belum cukup umur, tetapi juga supaya bisa benar-benar dinikmati sebagai tindakan privat yang menyenangkan dan mengasikkan. Erotisme bagi saya adalah perkara yang tak dapat diekspose dan ditayang kepada semua orang dari pelbagai level umur.
Kebutuhan kita terhadap pemandangan dan suasana erotis memang merupakan kebutuhan yang perenial dan abadi, persis seperti kebutuhan kita untuk makan-minum. Persoalannya, bagaimana kita mengatur perkara privat ini jika muncul di arena publik. Dalam konteks ini, maka perlu membuat semacam regulasi yang mengatur erotisme di arena publik. Regulasi seperti ini harus dibuat agar kehidupan publik tidak awut-awutan, dicemari oleh tindakan-tindakan yang tidak wajar. Terus terang dengan absennya regulasi seperti ini, saya menjadi risih sendiri melihat penjualan VCD-VCD porno yang dijajakan secara liar di pinggiran dan trotoar jalan.
Sekarang berkembang berbagai alasan bahwa perkara “ketubuhan” itu bukan pornografi melainkan ekspresi seni-estetik? Terhadap fenomena ini, saya melihat adanya inkonsistensi dari kelompok yang mengusung argumen “seni” itu. Kalau itu dipandang sebagai seni-estetik, dalam kenyataannya justru yang berlangsung di sana bukan seni untuk seni, melainkan seni untuk kapital.