Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid). Seorang insan nomor wahid dan tiada duanya. Banyak sejawatnya dan lawannya sekalipun kebingungan oleh pola pemikiran dan tingkah lakunya. Ihwal ini diungkapkan Greg Barton (2010) yang menyatakan kebingungan mengenai sosok Gus Dur.
Menurutnya, berbagai fakta menunjukkan bahwa: pertama, Gus Dur dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figur religious. Kedua, oleh kebanyakan orang yang khususnya berada di kawasan metropolitan dan intelektual kelas menengah Indonesia sebagai politisi yang sekuler atau sebagai intelektual liberal.
Dengan bersandar kepada dua alasan di atas, kesalahpahaman mengenai Gus Dur berjalan dengan kesalahpahaman kita bangsa Timur-Islam tentang bangsa Barat pada umumnya. Bagaimana seseorang yang merupakan intelektual liberal juga dapat dianggap sebagai figur religius dan bahkan bagi kalangan kiyai maupun santri adalah pemimpin karismatik setingkat wali?
Satu hal yang mudah dimengerti masyarakat Indonesia bahwa Gus Dur adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Tahun 1984-1999) dan Presiden Republik Indonesia Ke-4, dan perlu diingat bahwa, Gus Dur adalah penyeru agenda pribumisasi Islam. Pandangan Gus Dur tentang pribumisasi Islam merupakan agendanya dalam rangka melawan kelompok Islam radikal yang “suka marah-marah”.
Pribumisasi Islam yang dimaksud Gus Dur adalah upaya untuk memahami nash (Alquran dan Hadis) dipahami maupun ditafsirkan secara kontekstual—termasuk kondisi multikultural Indonesia—bukan tekstual. Dalam hal ini, pribumisasi Islam merupakan sebuah upaya dalam “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya setempat, sehingga budaya lokal tersebut tidak pudar dan hilang.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa kelompok Islam radikal cenderung memiliki watak tekstualis dan literalis. Maksudnya, memahami nash dengan apa adanya tanpa melihat konteks dan perubahan zaman, termasuk memalingkan diri dari tradisi dan kebudayaan lokal yang khas di Indonesia. Sehingga, mereka mempunyai watak benar sendiri seraya berteriak: “kafir”, “sesat”, “bid’ah”, kepada umat Islam lain yang tidak sepaham dengannya. Terlebih kepada umat Islam yang masih menjalankan maupun melestarikan tradisi. Terlebih, juga mengganti sistem negara Indonesia.
Dalam tradisi, kita ingat perkara-perkara yang disebabkan oleh “dangkalnya akal” kelompok Islam garis keras. Yaitu, ditendangnya sesajen oleh pria yang heroik di lokasi Gunung Semeru Lumajang Jawa Timur karena dianggap mendatangkan murka Allah, sehingga Gunung Semeru meletus, dan pengharaman wayang oleh seorang Ustaz dan menyarankan wayang dimusnahkan.