“Menurut saya Gus Dur itu wali, menguasai ilmu laduni,” kata Jalal mengulangi keyakinannya.
Kecerdasan Jalaluddin Rahmat
Jalaluddin Rakhmat mungkin hanya menguasai ilmu biasa, non laduni. Tapi siapapun yang pernah mendengar ia bicara dalam diskusi, atau membaca artikel dan buku-buku karyanya, tidak mungkin menyimpulkan lain kecuali bahwa ia seorang yang brilian. Keunggulan lisannya setara dengan kecanggihan tulisannya.
Dengan aksen Sunda yang pekat dan artikulasi sempurna, dengan kefasihan ucapan ketika ia mengutip frase dalam bahasa Arab, Parsi maupun bahasa-bahasa Eropa, ia mahir menyindir ke sana ke mari dengan menumpanginya dalam lelucon segar. Ia, misalnya, dalam sebuah diskusi di Jogja, pernah menjelaskan makna asosiasi.
“Kalau kita melihat baju berwarna hijau,” katanya, “pikiran kita terasosiasi dengan tentara, baik yang jelek maupun yang buruk.” Ia tahu: dengan cara itu siapapun yang disindirnya tidak akan bisa bereaksi negatif di depan publik; paling jauh mereka hanya bisa menggerutu di belakang forum.
Dan sebagai pakar komunikasi cemerlang, ia juga tahu: sisipan lelucon adalah bumbu wajib dalam setiap presentasi, dengan kadar yang tepat dalam semua aspeknya. Ia selalu sanggup mengontrol emosinya, tak pernah bicara dengan nada tinggi untuk hal yang paling perlu ditekankan nilai pentingnya maupun ihwal yang paling menjengkelkannya. Ia salah satu pembicara publik terbaik di Indonesia.