Islamina.id – Kang Jalal, begitu namanya bagi orang-orang dekatnya, mulai tampil di pentas intelektual Islam nasional di awal 1980an sebagai bagian dari euforia yang disebut “kebangkitan Islam di abad 15 Hijriah,” seperti misalnya dikumandangkan oleh tokoh terpenting Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyah M. Natsir melalui buku kecilnya.
Kemunculannya seiring dengan tampilnya para dosen perguruan tinggi umum yang baru kembali dari studi di Amerika, yang menyajikan wacana Islam secara baru dan memikat kaum muda. Mereka menarik dalam banyak seginya. Mereka berpenampilan “sekuler”, bahkan tanpa sekadar peci hitam, di acara-acara diskusi yang tak putus digelar di kampus-kampus.
Pada 1984, misalnya, majalah Prisma, kiblat perkembangan ilmu-ilmu sosial Indonesia, merasa perlu menyajikan edisi khusus tentang gejala baru yang menarik dan tak berpreseden ini.
Prisma menampilkan edisi “Angkatan Baru Islam”, dengan ketebalan ekstra, dan kabarnya edisi itu dicetak ulang. Jalaluddin Rakhmat ikut diundang menulis di sana, bersama Nurcholish Madjid, Abdurrahmam Wahid, Amien Rais dan beberapa cendekiawan Islam paling terkemuka lainnya. Para kontributor itu, menurut editor Aswab Mahasin yang menulis pengantar pendek yang bagus, bagaikan muazin baru. “Mereka datang justeru untuk memulai, bukan untuk mengakhiri.”
Baca juga: Rahmat Jalaluddin Rahmat (1)
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menulis buku kecil “Merambah Jalan Baru Islam” tentang mereka. Kecenderungan ini terus bergulir, hingga mengkristal antara lain dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990.
Adi Sasono, seorang aktifis non-scholar yang menjadi bagian dari generasi “kebangkitan Islam” itu, mengungkapkan sisi lain dari pembentukan ICMI dengan antusias, dan dengan bangga menyebut bahwa “(jumlah santri) yang bergelar doktor sudah lebih dari seratus orang” — karenanya mereka wajar ditampung dalam sebuah organisasi cendekiawan. Kang Jalal tampak enggan untuk terlibat dalam euforia ICMI, meski ia tak seterbuka Gus Dur dalam menyatakan ketaksetujuannya.
Posisi kecendekiawanan Jalal juga unik dalam hal lain: ia berbasis di Bandung, tapi bukan bagian dari Masjid ITB Salman yang legendaris. Mungkin karena ia dosen Univeritas Padjadjaran, kalaupun alasannya bukan ideologis. Ia seolah ingin menegaskan jalurnya sendiri, terlepas dari pendekar-pendekar Bandung seperti Imadduddin Abdulrahim atau Ahmad Sadali, dua tokoh utama Salman dari generasi lebih tua.
Imaduddin, seorang yang sejak lama dibidik oleh intelijen Orde Baru, membina mahasiswa Bandung di Masjid Salman dengan program reguler Latihan Mujahid Dakwah (LMD), dengan rujukan utama buku kecil karyanya sendiri yang mashur, “Kuliah Tauhid”, diterbitkan oleh penerbit Pustaka Salman yang cepat membesar dan rutin menerbitkan buku-buku Islam bermutu, dengan sampul berkarakter kuat, hasil rancangan Ahmad Nu’man, seorang arsitek ternama, adik kandung Sadali. Jalal menulis buku-bukunya sendiri dan diterbitkan oleh penerbit baru Bandung, Mizan.
Ia menjadi kutub tersendiri di Bandung. Meski tak pernah eksplisit menyatakan ia penganut Syiah, ia dengan sepantasnya mengungkapkan dengan caranya sendiri preferensi sektariannya. Paling jauh ia mengungkapkan dengan tersenyum bahwa ia, yang berlatar Muhammadiyah, adalah pengikut “ahlussunnah wal Syiah.”
Ia juga berbeda dari Miftah Faridl, rekan segenerasinya yang lebih berpenampilan dai. Tentu ia juga berbeda dari KH Engkin Zaenal Muttaqin, yang mendirikan Universitas Islam Bandung (Unisba). Dalam hal “menyumbang” cendekiawan Muslim, Bandung setara dengan Bogor, tempat A.M Saefuddin dan Hidayat Nataatmadja berbasis di IPB; berbeda jumlah dari Jakarta dan Jogja.