Sebagai penulis rubrik tetap “Halaman Akhir” di majalah mingguan Ummat, Jalaluddin Rakhmat — yang menggunakan nama pena Fikri Yathir — termasuk kolumnis yang lebih sering menyetor tulisan di menit-menit terakhir daripada di awal; bahkan beberapa kali ia menyatakan absen di saat-saat terakhir menjelang majalah naik cetak, membuat redaksi harus mengganjalnya dengan tulisan darurat.
Suatu hari, lewat tengah malam, redaksi meneleponnya, mengingatkan bahwa ia harus segera mengirim tulisan. Ia meradang. “Saya ini menulis dengan serius!”, katanya. “Saya bukan si Anu (ia menyebut nama), yang bisa nulis apa saja sekenanya!”
Ia berkata benar. Ia selalu bersikap profesional. Ia selalu bersungguh-sungguh dalam menulis tentang apa saja — teori-teori psikologi dan komunikasi, budaya pop, filosof-filosof Islam si abad-abad lampau, pemikiran irfani (sufisme) Persia. Dan tulisannya di rubrik itu selalu memikat.
Misalnya ketika ia membuat analogi yang kuat dan konsisten antara sikap kapten kapal di film “Titanic” yang waktu itu sedang mashur dan melemahnya kekuasaan Presiden Suharto. Dari semua tulisannya yang cerdas dan bertabur kalimat-kalimat efektif, terlihat bahwa ia mempelajari teknik dan seni menulis dengan sungguh-sungguh. Betul, ia bukan penulis seserampangan si Anu.
Jelas ia seorang pakar komunikasi — ia melahirkan beberapa buku teks yang bagus dan sampai sekarang masih terus dicetak ulang — yang menerapkan keahliannya dalam praktik, dan dengan sukses, bukan hanya menguasai aspek teoretis ilmu komunikasi.
Ia pernah melanjutkan studi ke Australia dalam ilmu politik untuk mendapat gelar doktor. Belajar di bawah bimbingan Indonesianis ternama Harold Crouch, ia tampaknya menghadapi banyak masalah non akademis sampai tak sanggup menuntaskan studinya.
Karir Politik Kang Jalal
Dalam pemilu 2014, ia secara mengejutkan menjadi calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan, dan berhasil lolos ke Senayan. Semua orang yang mengenalnya dengan antusias menantikan kiprah politiknya, sambil berharap besar bahwa ia akan mampu memberi warna baru pada postur intelektual badan legislatif itu. Sampai sepanjang lima tahun kemudian, publik hampir tak mendengar aksi legislatif apapun darinya.
Mungkin ia lebih sibuk menjalani apa yang menjadi gairah terbesarnya: mengurus Muthahari, sebuah sekolah menengah di Bandung yang dibangunnya dari nol. Ia yang kacamata minusnya terus menebal, dan tampak nyaman dengan rambutnya yang cukup gondrong, memang memulai karirnya sebagai guru SMP Muhammadiyah di pinggiran Bandung.
Mungkin ia kini bahagia karena mengawali karirnya sebagai guru, dan mengakhirinya sebagai guru pula, Senin sore, 15 Februari, dan berjumpa lagi dengan isteri yang meninggalkannya empat hari sebelumnya.
Ia tampaknya cukup puas dengan tak henti belajar apa saja, dari buku-buku dalam sejumlah bahasa. Kalaupun ia bukan penulis besar, ia pastilah seorang pembaca besar. Dan ia ingin anak-anak didiknya, di sekolahnya maupun forum-forum non sekolah, tak pernah lelah mencintai pengetahuan.
Ia tahu bahwa mereka semua, bahkan dirinya sendiri, tak akan sanggup menjadi Gus Dur — hanya dia seorang yang menguasai ilmu laduni.