Ia menguraikan, ideologi transnasional sendiri seringkali datang dalam berbagai bentuk. Bentrokan antara Palestina dengan Israel pun tidak lepas dari muatan-muatan yang digagas oleh para kaum radikal untuk menunggangi isu tersebut. Penjajahan Israel atas Palestina yang sebetulnya merupakan isu kemanusiaan, menjadi sarat dengan jargon-jargon agama yang dipaksakan masuk untuk memuluskan hasrat kelompoknya.
“Terkait meningkatnya eskalasi konflik Palestina-Israel, kita perlu mewaspadai adanya ‘penumpang gelap’ yang biasanya memanfaatkan konflik politik dengan framing agama. Konflik ini sangat kompleks dan rumit sehingga terkadang sulit bagi kalangan awam untuk membedakan apakah ini murni konflik agama atau sebenarnya konflik politik.”
“Kompleksitas masalah ini menempatkan ikhtiar-ikhtiar untuk mencari resolusi konflik pada posisi yang tidak mudah, karena usaha-usaha menjelaskan konflik sebagai konflik politik lebih mudah dicurigai dan dituduh pro-zionis,” tambah Kiai Hodri.
Dirinya mengingatkan bahwa demi mencari resolusi konflik ini, bangsa Indonesia harus kembali pada pesan luhur agama, yakni untuk mewujudkan perdamaian. Maka musuh agama dan ancaman yang sebenarnya adalah kezaliman terhadap kemanusiaan.
“Dengan demikian, kita perlu mengurai konflik ini dengan pendekatan kemanusiaan, perdamaian, dan agama sebagai rujukan moral dalam usaha memahami konflik yang ada dan terus berusaha mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi,” jelasnya.
Kiai Hodri berharap para santri Indonesia dapat merekontekstualisasi semangat jihad yang diharapkan dapat berkontribusi bagi kemajuan NKRI di masa yang akan datang.
“Sesuai dengan makna jihad itu sendiri, para santri perlu melaksanakannya secara kontekstual dan sesuai dengan konteksnya. Jihad di masa perang adalah dengan mengangkat senjata. Jihad saat ini adalah dengan memiliki kesungguhan dalam belajar dan meningkatkan kompetensi diri, berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat serta memberikan sumbangsihnya bagi Pesantren, NU, Bangsa, dan Negara,” pungkas Kiai Hodri.