Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, gelar Khalifatullah merupakan transformation of old concepts raja Jawa. Yang semula sebagai perwujudan dewa menjadi wakil Allah di dunia (Lombard, 1996).
Pada tahun 1755 M, pasca Perjanjian Giyanti yang memecah Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Lantas gelar Khalifatullah dipakai kesultanan yang mana?. Gelar Khalifatullah digunakan oleh sultan-sultan Yogyakarta. Sedangkan raja-raja Surakarta menyematkan gelar Sunan.
Sebutan Khalifatullah adalah ‘setali tiga uang’ dengan gelar Ẓillullāh fi al-‘Alam atau Ẓillullāh fi al-Ardhi yang berarti bayang-bayang Tuhan di bumi, dan melekat pada gelar para Sultan di kerajaan Melayu-Islam sejak abad ke-14 (Milner, 1981). Rakyatnya pun meyakini bahwa Sultan sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang patut dan wajib dipatuhi segala titahnya.
Penulis juga menemukan manuskrip pupuh Asmara Andana yang diposting sejarawan Ahmad Baso. Ia menjelaskan bahwa gelar “Khalifatullah” pernah dikritik Banten. Penggunaan gelar itu oleh Mataram sebagai alat justifikasi diri dan bersekongkol dengan Kompeni.
Di halaman pertama teks Syajarah Banten dari PNRI abad 18, sebutan Khalifatullah atau Khalifah ing Allah hanya tertuju khusus untuk Rasulullah SAW. Yang menyandang gelar ini selain Nabi wajib dilawan. Perlawanan pun datang dari Kaum santri saat itu. Inilah yang menjadikan Kiai Mojo mufaraqah dengan Pangeran Diponegoro.
Jadi, demikianlah riwayat ringkas gelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama. Khalifatullah bukan karena harus dihilangkan dan dialihfungsikan. Tetapi menjadi entitas budaya Islam dengan lokal. Semangat membumikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.