Zaman Nabi Muhammad Saw. hidup kerap dijadikan patokan sejarah. Karena di masa itulah Islam sebagai sebuah agama muncul untuk mendobrak kemapanan berpikir masyarakat waktu itu. Kalau melihat masa sebelumnya, masa Nabi bisa dikatakan sebagai masa khalaf (baru). Tetapi, jika dibanding dengan masa setelahnya, masa Nabi adalah masa salaf (yang sudah lewat).
Sebenarnya, kata “salaf” sendiri artinya, seperti yang populer di masyarakat Muslim, adalah al-qurûn al-tsalâtsah al-ûlâ (tiga abad pertama) sejak lahirnya Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad. Sumbernya bisa kita lacak melalui salah satu hadits Nabi yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibn Mas’ud, “Sebaik-baiknya manusia (khayr al-nâs) adalah di masaku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya…”
Dari hadits di atas, ada beberapa pertanyaan yang muncul. Apakah yang dimaksud al-qurûn al-tsalâtsah al-ûlâ (tiga abad pertama) yang oleh Rasulullah disifati dengan al-khayrîyyah (terbaik), sebagaimana yang telah disebutkan secara berurutan? Apakah al-khayrîyyah diperuntukkan bagi seluruh umat Muslim yang hidup pada masa itu? Atau, apakah al-khayrîyyah itu diperuntukkan bagi individu-individu tertentu (al-afrâd) dari umat Muslim?
Sebagian besar ulama memandang bahwa al-khayrîyyah diperuntukkan bagi individu-individu tertentu (al-afrâd) dari umat Muslim, walaupun terdapat perbedaan derajat di antara mereka. Sedangkan Ibnu Abdil Birr (363 – 463 H) berpendapat, bahwa al-khayrîyyah diperuntukkan bagi seluruh umat Muslim (majmû’ al-muslimîn). Menurutnya, al-khayrîyyah tidak untuk perorangan. Kalau untuk perorangan, kata yang akan digunakan “afdhal” (lebih utama), sehingga di antara mereka ada yang lebih utama dari yang lain.
Barangkali, Nabi menyebut orang-orang yang hidup pada tiga abad itu sebagai umat terbaik (al-khayrîyyah), dikarenakan masa kehidupan mereka yang sangat dekat dengan masa lahirnya kenabian dan risalah Islam. Pertama adalah masa para sahabat yang mendapat bimbingan secara langsung dari Nabi Muhammad. Kedua adalah masa para tabi’in (pengikut para sahabat Nabi) yang memperoleh cahaya kenabian melalui para sahabat. Kemudian terakhir adalah masa tabi’i al-tabi’in. Di masa inilah aliran-aliran Islam lahir sebagai reaksi terhadap kenyataan sosial yang mengecewakan.
Sejarah Kemunculan Salafiyah
Menurut sejarah, Salafiyah muncul pertama kali di Mesir pada masa penjajahan Inggris, bertepatan dengan munculnya gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin oleh para tokoh sekaliber Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Faktor kemunculan Salafiyah sendiri sangat terkait dengan kondisi Mesir pada masa itu. Meskipun terdapat Al-Azhar dengan seluruh ulamanya, serta gerakan keilmuannya dan pengaruhnya di Mesir dan dunia Islam secara menyeluruh, tetapi saat itu juga dimarakkan dengan membludaknya berbagai macam hal yang dipandang sebagai bid’ah dan khurafat yang berkembang dengan sangat pesat, bahkan di lingkungan al-Azhar sekalipun, yang sebagian timbul dari tasawuf.
Di lingkungan Al-Azhar sendiri, berbagai aktivitas keilmuan berubah menjadi formalitas-formalitas stagnan, yang ada hanya percekcokan-percekcokan verbalistik yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan realitas masyarakat. Al-Azhar bukan hanya tidak peduli kepada masyarakat, tetapi bahkan tidak merasa bahwa di pundaknya terdapat tanggung jawab yang besar, yaitu reformasi (ishlâh) dan perubahan (taghyîr).
Di tengah kondisi semacam ini, ada dua kelompok yang berkembang. Kelompok pertama berkeinginan melebur dengan peradaban Barat, serta melepaskan diri dari semua ikatan, bahkan pemikiran-pemikiran keislaman. Sedangkan kelompok kedua berkeinginan mereformasi umat Muslim, dengan mengembalikan mereka kepada Islam yang benar, yaitu Islam yang terbebas dari segala macam bid’ah dan khurafat, melepaskan Islam dari otoritas ulama Al-Azhar yang lebih banyak memilih menyepi daripada berbaur bersama masyarakat dan mengikatkan diri dengan roda kehidupan modern untuk mencari alternatif harmonisasi simbiosis dengan peradaban pendatang. Kelompok kedua ini dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Abdurrahman al-Kawakibi dan lain-lain. Mereka menyerukan agar dilakukan reformasi secara sungguh-sungguh dan penuh kejujuran.
Salafiyah: Antara Istilah dan Syiar
Mengingat bahwa setiap gerakan reformasi harus membawa sebuah syiar (tanda/slogan) tertentu untuk membuat orang tertarik mengikutinya, maka syiar yang diangkat kemudian adalah al-salafîyyah (Salafiyah), yang berarti ajakan untuk menghapus noda-noda yang telah mengotori kesucian Islam seperti bid’ah dan khurafat yang umumnya berupa isolasi diri dengan melakukan ‘uzlah dan menjauh dari kehidupan dunia. Sehingga nantinya, Islam dapat kembali kepada fitrahnya yang semula, sebagaimana yang dianut oleh al-salaf al-shalih.