Sementara itu, menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali menyatakan bahwa; kajian tentang imamah (khilafah) bukan termasuk hal yang penting. Juga bukan termasuk bagian studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fikih (ijtihad ulama). Dan masalah imamah berpotensi melahirkan fanatisme buta. Sehingga, orang yang dapat menghindarkan diri dari persoalan imamah ini lebih selamat daripada yang santer memperjuangkannya. Kendati ia benar dalam memperjuangkan, apalagi ketika salah. (Muhammad Azizul Ghofar, Salah Kaprah Khilafah, hal. 24)
Lebih jauh lagi, ulama sekaligus penulis asal Mesir Ali Abdel Raziq menyatakan dalam bukunya bertajuk Al-Islam wa Qawa’id as-Sulthan (Islam dan Sendi-sendi Kekuasaan), Raziq menyangkal adanya konsep kenegaraan yang jelas dalam Islam. Bahkan, Alquran tidak pernah menyebut-nyebut sebuah “Negara Islam” melainkan menyebut “negara yang baik”, penuh pengampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada alasan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah bagi umat Islam sendiri. (Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu di Bela, hal. 20)
Masih menurut Raziq, kalaupun Nabi Muhammad menghendaki berdirinya Khilafah Islamiyah, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan “bermusyawarahlah kalian dengan persoalan”. Masalah sepenting itu bukannya dilembagakan secara konkret, melainkan dicukupkan dengan sebuah diktum saja, yaitu: masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka. Mana ada negara bentuk seperti ini. Tegas Raziq.
Sementara Farag Fouda, seorang intelektual asal Mesir juga menelurkan buah pemikirannya akan penolakan berdirinya Negara Islam. Dalam bukunya Al-Haqiqah Al-Ghaibah (Kebenaran Yang Hilang) yang kemudian menjadi dasar atas pembunuhan dirinya, menyatakan; bahwa sistem khilafah bukanlah sistem yang layak untuk diterapkan, sebab terdapat jejak-jejak memalukan di dalamnya.
Untuk memperkuat argumennya, Fouda mengajukan fakta sejarah ihwal perilaku para khalifah yang tengah dilupakan oleh para pengusung berdirinya Negara Islam. Baik dari sejarah Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah. Misalnya, pendiri Dinasti Abbasiyah yang dijuluki “Si Penjagal” mengundang 90 anggota keluarga Umayyah untuk makan malam. Kemudian mereka di siksa sebelum akhirnya di bunuh. Juga perilaku khalifah yang buruk dan hedonis, seperti gemar minum-minuman keras, main perempuan, berperilaku seksual menyimpang, dan lain sebagainya.
Dari sini jelas bahwa Negara Islam atau khilafah bukanlah canangan terbaik untuk ditegakkan. Apalagi, ketika membahas aspek kenegaraan melalui sudut pandang Islam dan konteks sejarah yang ada. Dan, kalaupun Islam mengajukan adanya (berdirinya) Negara Islam, tentu saja, sulit untuk menyatukan umat Islam yang sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, terutama di Indonesia sendiri yang notabene masyarakatnya adalah plural dan multikultural dengan beragam agama, suku, ras, budaya, dan lainnya.
Apabila hal ini dipaksakan, Islam yang sejatinya hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, justru akan menjadi bencana yang mengancam bagi seluruh hidup umat manusia. Dan tidaklah demikian cara Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam membangun sebuah peradaban Islam, terutama di Indonesia. Juga, yang tak kala pentingnya adalah ihwal kesalahan pemahaman inilah yang sangat memprihatinkan dan harus segera dibenahi guna mencegah dampak dari kesalahpahaman ini kian membesar dan merambah pada wilayah yang lebih luas. Wallahu A’lam
Baca Juga: Otoritas Politik dalam Negara Khilafah (Bagian 1)