Islamina.id – DI dalam kajian ushul fikih, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, karya al-Syathibi, merupakan sebuah kitab yang tidak asing. Kitab ini merupakan representasi bagi masanya. Di masa kini kitab ini hadir setelah diedit dan dicetak secara baik berkat upaya sungguh-sungguh dari seorang pembaharu Mesir yang semangat dan tak kenal lelah, yaitu Mohammad Abduh, dengan bantuan murid kesayangannya, Mohammad Rasyid Ridha. Ini menunjukkan seberapa besar hasrat atau antusiasme pembaharu besar Mesir ini, serta besarnya upaya yang dikerahkannya untuk menghidupkan karya-karya yang merupakan representasi dari rasionalisme dan pemikiran bebas dalam tradisi Islam.
Kontribusi Mohammad Abduh sangat besar dalam “mengentaskan” karya-karya tersebut dari “dari lumpur-lumpur sejarah” dan menyebarkannya di lingkungan-lingkungan Arab. Kita contohkan Ibnu Arabi yang oleh para ahli fikih dicemooh dan disingkirkan dari wilayah Islam. Namun ia telah mendapatkan pembelaan berupa antusiasme serta kekaguman mendalam dari Mohammad Abduh. Untuk membuktikan pembelaannya terhadap Ibnu Arabi secara lebih jelas, Abduh telah mengakui salah satu teorinya tentang wahdah al-wujûd. Demikian juga yang dikakukannya terhadap Abu Ishaq al-Syathibi. Mohammad Abduh telah berhasil mengangkat manuskrip al-Muwâfaqât dari “tong sampah” ketika ia berkunjung ke Tunisia pada tahun 1884 M. Kemudian ia mengerahkan segala daya dan upaya untuk menyebarkannya. Di sini kita melihat betapa penting posisi al-Syathibi.
Imam As Syatibi dan Maqâshid al-Syarî’ah
Sebagai gambaran awal, al-Syathibi menulis al-Muwâfaqât setengah abad sebelum runtuhnya Granada yang merupakan kota umat Muslim terakhir di Andalusia guna menghidupkan kembali syariat; mengajak umat Muslim untuk lebih memprioritaskan maslahat umum, mengarahkan mereka untuk memperhatikan realita dan alam. Satu setengah abad sebelumnya Ibnu Arabi juga melakukan hal serupa, melalui tasawuf ia berupaya menyatukan antara agama dan dunia, makrifat dan wujud, Allah dan alam, “aku” dan “orang lain”, imajinasi dan kenyataan, akal dan perasaan. (Hassan Hanafi, Maqâshid al-Syarî’ah wa Ahdâf al-Ummah, Qirâ’ah fî al-Muwâfaqât li al-Syâthibi, dalam Jurnal al-Muslim al-Muassir, vol. 26. no. 103, Cairo-Egypt: 2002, hal. 66)
Semula al-Syathibi menamakan karyanya tersebut dengan “al-Ta’rîf bi Asrâr al-Taklîf”. Hingga pada suatu hari dia bertemu dengan seseorang Syaikh. Syaikh itu berkata padanya, “Semalam aku melihatmu dalam tidur, kau pegang di tanganmu sebuah kitab yang telah kau susun, aku tanyakan kepadamu tentangnya, lalu kau katakan bahwa itu adalah kitab al-Muwâfaqât.” Syaikh itu kembali berkata, “Aku tanyakan kepadamu tentang penamaan yang bagus ini, dan kau katakan bahwa dengan itu kau ingin menyatukan antara mazhab Ibnu al-Qasim dan Abu Hanifah.” Sejak saat itu al-Syathibi menyebut karyanya dengan al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî`ah. (Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, komentar dan tahkik: Syaikh Abdullah Darraz, Cairo-Egypt: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 2006, Juz I, hal. 19)
Namun demikian, al-Syathibi bukanlah orang pertama yang mencetuskan maqâshid al-syarî’ah. Sebelumnya banyak dari pakar ushul fikih yang telah menggagasnya. Walaupun tidak secara eksplisit, orang-orang seperti al-Hakim al-Tirmidzi, sebagai salah satu tokoh abad ketiga, Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H), Abu Bakar al-Qifal al-Syasyi (w. 365 H), Abu Bakar al-Abhari (w. 375 H), dan al-Baqillani telah memulainya. Sebab pencantuman terma “maqâshid” dalam berbagai kitab tidak berarti menganggapnya sebagai metode teoritis dan pemikiran, tetapi lebih dimaksudkan untuk memainkan peran dalam ranah fikih.
Dalam hal ini, pembahasan tentang al-‘ilal al-syar’îyyah, atau mahâsin al-syarî’ah, bisa dianggap sebagai sesuatu yang ikut menghantarkan munculnya maqâshid sebagai sebuah teori. Abu Abdullah Muhammad bin Abdirrahman al-Bukhari telah mengarang kitab “Mahâsin al-Islâm”, dia wafat pada tahun 546 H, yaitu setelah wafatnya al-Juwayni (478 H) dan al-Ghazali (505 H), keduanya adalah orang yang pertama kali menggagas maqâshid sebagai sebuah teori. (Syaikh Ali Hobbellah, Dirâsât fî Falsafah Ushûl al-Fiqh wa al-Syarî`ah wa Nazhriyyah al-Maqâshid, Lebanon-Beirut: Dar el-Hadi, cet. Ke-I, 2005, hal. 81)
Pembahasan tentang “al-‘ilal dan al-mahâsin” juga banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh lain, namun tidak seorangpun dari mereka yang merumuskannya sebagai teori. Al-Shaduq misalnya, ia telah mengarang kitab ‘Ilal al-Syarâ’i’, dan banyak lagi tokoh yang lainya, khususnya para pengikut Hanafiyah, tetapi karya-karya mereka sangat jauh dari pembahasan tentang teori maqâshid sebagaimana yang dilakukan al-Juwayni. Dari sini dapat dikatakan bahwa al-Juwayni merupakan penggagas pertama teori maqâshid, seperti yang nampak pada ulasan-ulasannya dalam kitab al-Burhân, di mana dia menisbatkan pembagian-pembagian al-mashâlih kepada dirinya, dan menjadikannya sebagai syarat mutlak bagi seorang mujtahid. (Syaikh Ali Hobbellah, hal. 81)