Al-Juwaini tidak membahas maqâshid secara khusus dalam satu bab seperti al-Syathibi, dia hanya menjadikannya sebagai bagian dari pembahasan mengenai ta’lîl dalam qiyas. Ini juga dilakukan oleh al-Ghazali dalam beberapa karyanya: al-Mankhûl, yang tidak jauh beda dari al-Burhân, bahkan bisa dikatakan sebagai ikhtisar saja. Kemudian Syifâ’ al-Ghalîl dan al-Mustashfâ, dalam kedua karyanya ini terdapat hal baru yang tidak ditemukan dalam karya al-Juwayni. Dalam Syifâ’ al-Ghalîl misalnya, al-Ghazali membahas tentang al-amr al-maqshûd yang tak lain adalah maslahat. Menurutnya, maslahat adalah menjaga tujuan Syâri` yang diketahui dan dipahami melalui al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma`. (Syaikh Ali Hobbellah, hal. 82)
Nama lain yang tidak kalah penting adalah Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) dengan karyanya, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Walaupun kitab itu sebatas ikhtisar dari tiga kitab sebelumnya; al-Mu`tamad karya Abu Hasan al-Bashri, al-Burhân karya al-Juwaini, dan al-Mustashfâ karya al-Ghazali, hanya saja ia membahas maqâshid dengan menjadikannya sebagai cabang dari qiyas hingga ke tingkat kemungkinan melakukan tarjîh antara beberapa qiyas berdasarkan maqâshid. Al-Amidi ini adalah orang yang pertama kali membagi al-dhâruriyyât menjadi lima yang nantinya mempengaruhi pemikiran al-Syathibi. (Syaikh Ali Hobbellah, hal. 83)
Setelah tiga abad kemudian, al-Syathiby (w. 790 H) kembali menggagasnya secara lebih detail dan dalam mahakaryanya, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî`ah. Bahkan secara khusus menyediakan satu jilid lengkap dari karyanya dengan diberi judul “Kitâb al-Maqâshid”. Dan setelah merunut pendapat para pendahulunya, ia mengajukan dua masalah baru; pertama, menyusun maqâshid; kedua, metode menyingkap maqâshid. (Syaikh Mahdi Mahrizi, Maqâshid al-Syarî`ah fî Madrasah Ahl al-Bayt, dalam jurnal Qadhaya Islamiyyah Mu`ashirah, No. 13, Cairo-Egypt: 2000, hal. 220)
Sesuatu yang menarik bahwa, teori maqâshid yang digagas al-Syathibi dimaksudkan untuk memproduksi ushul fikih. Berbeda dengan para pakar ushul fikih lainnya yang menempatkannya pada posisi yang marjinal; salah satu bagian dari ushul fikih.
Sejarah Maqâshid al-Syarî’ah
Dapat dipahami melalui munculnya terma “al-maqâshid” dan perkembangannya, bahwa teori al-Syathibi tentang al-maqâshid adalah orisinil; sebelumnya memang terdapat gagasan tentang al-dharûriyyât al-khams atau al-mashâlih al-‘âmmah, tetapi belum terkristalisasi dalam sebuah konsep maqâshid yang utuh dan menjadi satu satu pilar dalam merumuskan ilmu ushul fikih. Al-dharûriyyât al-khams atau al-mashâlih al-‘âmmah itu hanya menjadi bagian kecil dalam ijtihad atau qiyas dan menjadi salah satu cabang dari al-istidlâl al-mursal dengan nama al-istihsân atau al-istishhâb atau dalîl al-‘aql atau al-mashâlih al-mursalah. Pernah juga dianggap sebagai al-qiyâs al-hurr yang tidak tunduk pada logika qiyas yang tegas, melepaskan hukum dari dasarnya (al-ashl) untuk kemudian ditarik kepada cabangnya (al-far’) dikarenakan ada kesamaan antara keduanya dalam hal al-‘illah, sebagaimana dalam al-Mustashfâ karya al-Ghazali. (Hassan Hanafi, hal. 66)
Dalam kitab al-Muwâfaqât, al-Syathibi tidak menjelaskan definisi Maqâshid al-Syarî’ah, baik secara etimologis ataupun terminologis. Sebabnya kembali kepada sepontanitas maksud yang terstruktur di atas sirkulasi tujuan berikut kejelasan makna etimologis dan terminologisnya dalam karya-karya para pendahulunya. Atau barangkali al-Syathibi melihat bahwa pembagian-pembagian definisi yang bakal disebutkannya nanti akan menghilangkan pemahaman tujuan maqâshid al-syarî’ah, sehingga menjadi karya yang hanya memuat definisi-definisi tanpa penjelasan komprehensif dan formulasi yang tegas sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulunya setiap kali membicarakan maqâshid. Mereka hanya menyajikan definisi, bahkan kadang terlalu berlebihan ketika menjelaskan batasan-batasannya, sehingga merekapun terjebak dalam sistem ushuliyah yang jauh dari tujuan-tujuan dibentuknya ilmu ushul. Mereka terjebak dalam penjelasan kata-kata dan komentar-komentar terhadap syarh-syarh kemudian ikhtishâr. Hal ini berlangsung cukup lama, sehingga membebani ‘ilm al-ushûl dan menjadikannya tidak memiliki faedah sama sekali.
Sebagai sebuah teori, maqâshid al-syarî’ah oleh al-Syathibi tidak hanya diorientasikan untuk berperan dalam ranah fikih Islam, tetapi juga dijadikan sebagai pemberontakan dan revolusi terhadap bentuk-bentuk kalimat yang dominan di dalamnya. Dari sini dapat dipahami kenapa metode yang digunakan al-Syathibi terlihat lain dengan metode para pendahulunya. Abdullah Darraz bahkan menggambarkannya seperti orang yang berjalan di atas gigi-gigi sisir. Al-Syathibi telah berusaha menghentikan akumulasi dalam ranah maqâshid untuk kemudian melakukan lompatan kualitas, akumulasi yang tertawan oleh metode tunggal serta wawasan-wawasan ilmiah yang terbatas dengan sisipan-sisipan yang terlampau banyak sejak al-Juwaini, namun pengaruhnya dalam fikih dan ilmu ushul sangat sedikit—untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.