Islamina.id – FILOSOFI dialog di dalam Islam didasarkan pada dua kaidah: pertama, menghiasi diri dengan akhlak dan etika Islam, meneladani sîrah Nabi Saw. dan para sahabat beliau dalam berdialog dan berbicara dengan non-Muslim, yang berangkat dari keyakinan akan kesatuan umat manusia, sesuai dengan sabda Nabi Saw.,
“Kalian semua berasal dari Adam, sedangkan Adam berasal dari tanah,” [HR. Ahmad], dan perdebatan dengan cara yang terbaik, sesuai dengan firman Allah Swt., “Serulah [manusia] kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik,” [QS. al-Nahl: 125]. Kedua, upaya mencari dan menemukan kebenaran untuk mencapai apa yang menjadi kepentingan umum melalui beragam cara yang tidak menyimpang dari kebenaran dan keadilan, serta beragam sarana demi kebaikan masyarakat manusia secara umum.
Terlepas dari sifatnya yang kompleks, dialog bukan dakwah, bukan perdebatan dengan adu argumen, tetapi lebih merupakan formula inklusif, dan merupakan salah satu metode pendekatan, respon dan interaksi. Karena itu, salah satu syarat dialog yang bermakna dan bermanfaat adalah yang dibangun di atas hikmah.
baca juga: Toleransi Islam
Hikmah adalah gabungan antara ilmu dan pengetahuan, elemennya meliputi ketajaman pikiran, pemahaman yang baik, kedalaman kesadaran, keluasan wawasan, kedewasaan, dan kesetaraan. Allah Swt. berfirman, “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak,” [QS. al-Baqarah: 269]. Jika hikmah adalah syarat dakwah, maka ia juga merupakan syarat dialog.
Sebagaimana dakwah dikaitkan dengan hikmah dan nasihat yang baik, demikian pula dialog dikaitkan dengan hikmah dan nasihat yang baik dalam segala hal. Kaitan ini sama dengan kaitan antara sarana, metode, dan konten. Dialog adalah sarana, hikmah adalah metode, dan nasihat yang baik adalah konten. Dalam konteks al-Qur`an, dakwah diikuti dengan hikmah, nasihat yang baik, dan perdebatan dengan cara terbaik, sebagaimana firman Allah Swt., “Serulah [manusia] kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan debatlah mereka dengan cara terbaik,” [QS. al-Nahl: 125]. Semua ini berlaku sepenuhnya untuk dialog.
Jika perdebatan, yang tidak lain adalah adu argumen, berada di urutan kedua dalam tingkatan dakwah, dan sebagaimana dakwah itu tidak mendapatkan legitimasi syariat kecuali jika dilakukan dengan hikmah dan dikaitkan dengannya, demikian juga dialog hanya dapat dilakukan dengan sesuatu yang terbaik, yaitu sarana terbaik, metode terbaik, dan konten-konten terbaik. Ini adalah prinsip-prinsip, dasar-dasar, dan syarat-syarat dialog.
Prinsip yang Harus Dipegang dalam Berdialog
Adapun komponen-komponen pembicara dalam dialog, itu adalah cabang dari prinsip-prinsip dan landasan dari dasar-dasar tersebut. Pembicara harus harus bijak, cerdas, memahami perkembangan zaman dan problem-problemnya, kuat dan lurus, memahami misi dan cita-cita Islam, berpikiran terbuka, berwawasan luas, memiliki banyak pengetahuan, dengan kualitas besar dari intelektualitas, pengalaman dan spesialisasi.
Dalam pengertian ini, dialog sesungguhnya adalah kekuatan dan senjata dalam kontestasi kebudayaan dan peradaban, dan merupakan cara efektif untuk mempertahankan kepentingan tertinggi masyarakat, menjelaskan masalah-masalah mereka, menunjukkan perhatian-perhatian mereka, mengkomunikasikan pesan mereka, membuat suara-suara mereka didengar, menunjukkan fakta sesungguhnya mengenai mereka, menggalang dukungan untuk mereka, mendulang banyak manfaat untuk mereka, serta menghindarkan kejahatan dari mereka.
baca juga: Mengenal Moderasi Islam
Jika dialog merupakan fondasi tetap dalam peradaban Islam, ia juga termasuk salah satu prinsip syariat, berdasarkan firman Allah, “Hai Ahli Kitab, marilah [berpegang] kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak [pula] sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah,” [QS. Ali Imran: 64]. Ayat ini, pada kedalaman dan esensinya, juga signifikansi dan maknanya, merupakan ajakan kepada dialog yang kontruktif dan terarah.
Berlandaskan kaidah ini, maka dialog yang harus kita serukan dan kita bangun adalah dialog yang bersumber dari spirit moderasi Islam, karena seluruh hukum Islam didominasi oleh spirit moderasi, menolak ekstremisme dan lebih memilih mediasi di antara berbagai pihak di dalam masyarakat. Banyak sekali ayat al-Qur`an yang menyiratkan spirit moderasi, bahkan memujinya, di antaranya, “Dan demikian [pula] Kami telah menjadikan kamu (umat Muslim) ummatan wasathan dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas [perbuatan] manusia,” [QS. al-Baqarah: 143].