“Jadi terorisme itu hilirnya, hulunya radikalisme. Ini virus karena semua teroris pasti dijiwai radikalisme, meski mereka yang terpapar radikalisme tidak mesti jadi terorisme,” jelas mantan Kabag Ops Densus 88 Antiteror Mabes Polri ini.
Pada kesempatan itu, ia juga memberikan pemahaman para peserta tentang apa itu radikalisme. Ia menjelaskan bahwa radikalisme itu adalah paham anti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Berawal dari terpapar radikalisme itu, mereka akan kecewa, frustasi, dendam, dan benci, yang kemudian berujung dengan melakukan aksi terorisme. Intinya virus radikalisme dan terorisme itu bersifat intoleran dan eksklusif dengan mengatasnamakan agama.
“Radikalisme dan terorisme itu sejatinya adalah musuh agama dan musuh negara. Karena tindakannya bertentangan dengan nilai luhur agama yagnn mewajibkan akhlakul karimah, mencintai negara, menghormati pemerintah yang sah dan menghormati antar sesama.
“Mereka memecah belah umat, memunculkan phobia, kalau dibiarkan akan menimbulkan konflik. Sebelum terjadi konflik, biasanya didahului maraknya radikalisme mengatasnamakan agama, dan berkolaborasi dengan pihak antipemerintah yang sah dan asing. Ini namanya neo-kolonialisme atau bentuk baru yaitu proxy war dan proxy ideology,” terang Nurwakhid.
Ia menambahkan bahwa Sulut dan Manado memiliki realitis sebagai daerah paling toleran nomor dua di Indonesia. Untuk itu, ia meminta para calon Duta Damai Dunia Maya Regional Sulut untuk menularkan pengalaman dan realitas kehidupan dengan toleransi ke daerah lain.
“Itulah pentingnya kalian jadi duta damai, kalian jadi influencer, dan buzzer perdamain terutama di dunia maya. Bangun persatuan, perdamaian. Jangan sampai militansi diklaim kelompok radikal,” tuturnya.
Selain itu, kata Nurwakhid, dalam membuat kontra narasi, duta damai dunia maya, jangan ada setitik pun kebencian pada siapapun. Tapi harus penuh kasih sayang seperti yang diajarkan para nabi seperti Nabi Muhammad dan Nabi Isa atau Yesus Kristus,” pungkasnya.
Regenerasi Duta Damai Dunia Maya Regional Sulut ini digelar selama empat hari dengan diikuti 50 peserta. Selama pelatihan, para peserta digembleng membuat konten kontra narasi berupa tulisan, desain komunikasi visual, dan IT. Mereka juga dibekali dengan pemahaman substansi pencegahan radikalisme dan terorisme dengan menghadirka narasumber berkompeten.