Karena itulah, bagi kalangan sufi, berpuasa bukan sekadar menahan nafsu biologis, tetapi juga disertai dengan serangkaian ibadah, riyadhah, dan pemusatan pikiran yang hanya tertuju kepada Allah. Bagi sufi, bukanlah orang yang berpuasa jika hanya menahan haus dan lapar.
Dalam konteks ini, Al-Ghazali mengklasifikasikan orang berpuasa ke dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa orang pada umumnya (shaum al-‘amm), yaitu menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri. Jenis puasa ini hanya menggugurkan kewajiban puasa.
Kedua, puasa orang khash (orang-orang khusus/elite), yakni mengendalikan seluruh anggota tubuh untuk tidak melakukan perbuatan maksiat. Bagi kelompok ini, melakukan dosa kecil apalagi besar akan membatalkan puasa. Prinsipnya, tidak disebut berpuasa bagi mereka yang melakukan dosa, seperti berbohong dan menebar fitnah.
Ketiga, puasa orang khawash al-khawash (orang-orang superkhusus/elite), yaitu menjaga hati dari keinginan duniawi, mengarahkan hati untuk selalu berzikir (ingat) kepada Allah secara totalitas. Setiap saat hatinya selalu ingat kepada Allah, sekalipun ia mengerjakan hal-hal duniawi semuanya diperuntukkan semata untuk Allah.
Ouput takwa
Untuk meyakinkan umat Islam betapa puasa ialah media mendekatkan diri kepada Allah, melatih spiritualitas, melepas kemelekatan duniawi, Allah pun dalam ayat itu menyinggung, puasa ini sudah menjadi tradisi orang-orang (baca: Nabi) terdahulu. Sehingga, melalui ibadah puasa, umat Nabi Muhammad terhubungan dengan tradisi-tradisi umat sebelumnya, karena puasa ini dalam ilmu Ushul fiqh dikategorikan sebagai syar’u man qablana (syariat sebelum era Nabi Muhammad).
Dengan melaksanakan puasa tingkat yang ketiga, khawash al-khawash, output yang bisa diraih umat Islam adalah takwa. Ketakwaan di sini tentu derajat kualitatif manusia di hadapan Tuhan yang terefleksi kehidupan sehari-hari. Al-Quran memberikan indikator kebertakwaan seseorang, sebagaimana yang termaktub dalam surah Ali Imron surat 124-135, yaitu, kepeduliaan sosial baik baik dalam keadaan lapang maupun sempit, mampu menahan amarah dan memaafkan orang lain, dan selalu bertobat atas segala kesalahan yang telah diperbuat.
Kiranya, melalui puasa ini kita diharapkan menjadi hamba yang disebutkan dalam Alquran alladzina yadzkuruunallah qiyaman wa qu’udan wa ‘ala junubihim wa yatafakkaruuna fi khalqi al-samawati wa al-ardl, mereka yang selalu mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, tidur dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. (QS.3: 191). Semoga!
Media Indonesia, 15 Mei 2019
https://mediaindonesia.com/read/detail/235590-takwa-sebagai-output-puasa