Seorang Muslim tidak boleh hanyut oleh kebenciannya terhadap suatu kaum atau kebencian mereka terhadapnya, atau kebenciannya yang berlebihan terhadap mereka membuatnya berlaku tidak adil dalam membuat keputusan, memberi kesaksian, menyampaikan pendapat, atau melakukan suatu tindakan. Kezhaliman atau ketidakadilan termasuk hal yang sangat dilarang, baik bagi orang Muslim maupun non-Muslim, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.
Di antara indikasi toleransi dalam al-Quran adalah firman Allah Swt. tentang “birr al-wâlidayn” (berbakti kepada kedua orangtua), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,” [QS. Luqman: 15]. Meskipun kedua orangtua membenci anaknya, yang diungkapkan oleh al-Qur
an dengan kalimat “jika keduanya memaksamu” yang menunjukkan upaya diam-diam keduanya untuk memalingkan si anak dari agamanya, tetapi Allah memerintahkan si anak untuk tetap bergaul dengan keduanya secara baik, berbakti kepada keduanya, memenuhi hak-hak keduanya, meskipun ia tidak menyetujui perbuatan keduanya.
Muslim Di Zaman Nabi
Selain itu, al-Qur`an juga menggambarkan sifat umat Muslim di masa Nabi Saw., “Dan mereka (umat Muslim) memberikan makanan yang disukai kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan,” [QS. al-Insan: 8], dan, seperti yang kita tahu, pada masa itu yang menjadi tawanan adalah orang-orang musyrik yang membenci, memusuhi, menyakiti dan memerangi umat Muslim.
Di dalam al-Qur`an kita akan menemukan etika berdialog dengan suatu kaum yang tidak sekeyakinan dangan umat Muslim, yang intinya adalah perintah Allah kepada umat Muslim untuk fokus kepada “hal-hal yang mendekatkan” dan bukan kepada “hal-hal yang menjauhkan” atau “hal-hal yang dapat membuka ruang-ruang perselisihan dan permusuhan”. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada [kitab-kitab] yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri,” [QS. al-‘Ankabut: 46].
Para mufassir menyebutkan bahwa di masa Nabi Saw. ada beberapa orang Muslim mempertanyakan legalitas infak dan sedekah bagi orang-orang yang berhak dan kerabat mereka yang tetap dalam kesyirikan: bolehkah memberikan infak dan sedekah bagi orang-orang musyrik? Kemudian Allah menurunkan firman-Nya kepada Nabi Saw., “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk [kepada] siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan [di jalan Allah], maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan),” [QS. al-Baqarah: 272]. Ayat ini mengisyaratkan bahwa niat infak dan sedekah adalah untuk memperoleh ridha Allah, meskipun infak dan sedekah itu diberikan kepada orang-orang musyrik.