Kemunculan Salim A. Fillah membuat kesan tersendiri bagi penulis yang berangkat dari kalangan pesantren. Metode kesejarahan yang dahulu hanya dikonsumsi di ranah akademik, sekarang dapat diakses publik. Ketika menjadi narasumber di berbagai kesempatan, ia berbicara mengenai Islam di Nusantara. Cukup berkesan bagi penulis!
Penulis teringat dengan K.H. Ng. Agus Sunyoto. Salah satu guru besar sejarah bagi Nahdliyyin yang telah wafat. Tetapi pemikiran kesejarahan Islam Nusantaranya yang tidak akan pernah pudar. Menurut penulis, ia telah mewariskan intelektualisme sejarah Islam Nusantara. Kini, di kalangan NU masih mencari sejarawan handal se-level Agus Sunyoto. Atau mungkin di NU belum mempersiapkan sejarawan handal?
Pertanyaan kritis ini berlaku bagi penulis dan Nahdliyyin. Panggung kesejarahan Islam Indonesia “masih” kurang diminati dan atensi khusus. Kondisi ini juga dilihat dari posisi Indonesia sebagai negara maju, yang mana masyarakatnya sudah mulai kritis dan lebih intektualis.
Ada kaidah ushul fiqh berbunyi “al-muḥāfaẓat ʿala al-qadīm aṣ-ṣāliḥ wa al-akhdzu bi al-jadīd al-aṣlaḥ” (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kaidah ini selalu dipegang bagi Nahdliyyin. Ada warisan peradaban yang harus dijaga dengan baik. Peradaban Islam yang terus dilakukan oleh kalangan muslim Indonesia.
Dari warisan peradaban, muslim Indonesia harus sadar dengan kerja-kerja peradaban atau al-akhdzu bi al-jadīd al-aṣlaḥ. Bagaimana warisan peradaban itu terus menerus dihidupkan di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, merawat peradaban tidak akan pernah ada habisnya!