Keulamaan dalam Islam makin kuat beraroma Arab-Timur Tengah. Para ilmuwan dari sana menjadi kiblat dan kitab-kitabnya serta fatwa-fatwanya menjadi rujukan umat Islam yang tinggal di kawasan lain.
Dahulu, Ratu Kamalat Sjah dimakzulkan sebagai Ratu Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1699), setelah ulama Mekah mengharamkan perempuan menjadi pemimpin atau ratu. Sebagian ulama nusantara pernah menolak Megawati sebagai (calon) presiden berdasar pada fatwa ulama Arab.
Ketika terjadi soal atau kasus di suatu kawasan, para tokoh agama di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Timur Tengah, seperti Yusuf Qardawi, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka mentaklid pendapat-pendapat yang datang dari sana.
Walhasil, Arab merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah tafsir dalam Islam. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam pun bisa efektif kalau dilakukan para ulama Arab-Timur Tengah.
Sementara para ulama non-Arab dianggap pinggiran dan karya-karyanya dipandang sebelah mata. Ini, salah satunya, karena ulama non-Arab diposisikan sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam, agama yang memang pertama kali lahir di Arab.
Jika orangnya dianggap `ajam, maka kitab-kitabnya pun dianggap ghairu mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam. Tak pelak lagi, kitab-kitab yang dikreasikan para ulama Indonesia kontemporer agak sulit memasuki gelanggang percaturan intelektual Timur Tengah. Karya ulama pribumi kini tak lagi memiliki wibawa di hadapan ulama Arab.
Padahal, banyak karya ulama `ajam yang brilian. Misalnya, karya gemilang KH. M.A. Sahal Mahfudz, Thariqah al-Hushul `ala Ghayah al-Ushul, KH Afifuddin Muhajir dari Situbondo Jawa Timur menulis buku al-Ahkam al-Syar`iyah bayna al-Tsabat wa al-Tathawwur.